Opini

Putusan MK dan Implikasi UUPA

Bagaimana dengan Aceh yang memiliki UU Khusus (UUPA), yang substansinya mengatur pemilu dan pilkada?

Editor: mufti
HUMAS PEMPROV ACEH
Dr Amrizal J Prang SH LL M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 

Dr Amrizal J Prang SH LL M, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh

MAHKAMAH Konstitusi (MK) melalui Putusan No.135/PUU-XXII/2024, mengabulkan permohonan judicial review, yang diajukan oleh Perludem, terhadap Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1), UU No. 7/2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), dan Pasal 3 ayat (1) UU No.8/2015 juncto UU No.1/2015 tentang Pilkada (UU Pilkada). Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pasal-pasal UU tersebut tidak sesuai dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sehingga, diputuskan bertentangan konstitusi secara bersyarat (unconstitutional conditional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kecuali, pada pemungutan suara mendatang tahun 2029, dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu 2 (dua) tahun atau lebih, memilih anggota DPRD provinsi, kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil wali kota.

Artinya, putusan tersebut telah mengubah perhelatan pemilu baik nasional maupun lokal/daerah.
Pertama, sebelumnya memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota, serta presiden/wakil presiden. Ke depan, pada pemilu tahun 2029 minus anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Kedua, sebelumnya hanya memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota. Pasca putusan tersebut setelah 2 (dua) tahun atau lebih, memilih gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Revisi UU

Konsekuensi putusan tersebut telah menimbulkan pro-kontra di kalangan publik. Menkokumhamipas, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, putusan tersebut berpotensi pelanggaran konstitusi karena memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal, dengan memasukan pemilihan DPRD dalam pemilihan lokal dan tidak lagi 5 tahun. Sehingga, kontradiksi dengan Pasal 22E UUD 1945. (Kompas.com, 2/7/2025). Berbeda, dengan Bivitri Susanti, menyatakan pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal tidak kontradiksi dengan konstitusi. Putusan tersebut masih dalam koridor tugas konstitusional MK, menafsir norma konstitusi. (Kompas.tv, 1/7/2025).

Terlepas pro kontra tersebut, mengacu konstitusi bahwa kewenangan dan keberlakuan putusan MK secara eksplisit diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No.24/2003, berbunyi, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD. Sehingga, MK disebut sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardian of constitution), dan sebagai penafsir terakhir konstitusi (the final interpreter of constitution).

Selanjutnya, dikuatkan Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No.8/2011 perubahan UU No.24/2003, berbunyi: Putusan MK bersifat final, yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK dalam UU ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Apalagi, secara asas hukum, putusan hakim dianggap benar (res judicata pro veritate habetur).

Keberadaan, Hakim MK sebagai negative legislator, putusannya bersifat erga omnes, ditujukan kepada semua orang. Kekuatan mengikat putusan MK, berbeda dengan putusan pengadilan biasa, tidak hanya meliputi pihak-pihak berperkara, tetapi putusan tersebut juga mengikat bagi semua orang, lembaga negara dan badan hukum. (Maruarar Siahaan, 2005:208).

Oleh karenanya, untuk menjadi landasan hukum pemilu nasional dan lokal/daerah tahun 2029 mendatang dalam masa transisi tersebut, DPR wajib merevisi (legislative review) UU Pemilu dan UU Pilkada. Sebagaimana, pertimbangan MK dalam paragraf (3.18.2), disebutkan, karena masa transisi/peralihan ini memiliki berbagai implikasi maka penentuan dan perumusannya menjadi kewenangan membentuk UU untuk mengatur dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering), terhadap masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka ada 3 (tiga) hal yang menjadi perhatian pembentuk UU dalam perubahannya. Pertama, menyatukan UU Pemilu dan UU Pilkada atau masih terpisah. Kedua, ada 2 (dua) opsi pengaturan masa transisi 2 (dua) tahun atau lebih anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota: 1) melanjutkan masa jabatan anggota DPRD sebelumnya; atau, 2) memberi kewenangan kepada partai politik, mengganti anggota DPRD yang sudah menduduki 5 (lima) tahun dengan anggota yang suara terbanyak selanjutnya sampai dilaksanakan pemilu lokal. Ketiga, mengatur masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil walikota yang sudah habis masa jabatan, diganti dengan penjabat sampai dilaksanakan pemilu lokal.

Implikasi UUPA

Jika perubahan UU Pemilu dan UU Pilkada secara eksplisit sudah diputuskan oleh MK. Bagaimana dengan Aceh yang memiliki UU Khusus (UUPA), yang substansinya mengatur pemilu dan pilkada? Apakah berimplikasi juga terhadap UUPA? Sementara, dalam UU MK tidak disebutkan secara eksplisit implikasi putusan terhadap UU lain yang normanya diatur saling beririsan.

Menurut Maruarar Siahaan, meskipun tidak mengatur, putusan MK memiliki dampak (implikasi) secara horizontal dan vertikal. Dampak secara horizontal meliputi norma yang sama namun terdapat dalam UU lain. Sementara, dampak secara vertikal yaitu semua peraturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari norma yang dibatalkan juga menjadi tidak berlaku meskipun masih ada dalam UU tersebut. Memang, Indonesia tidak mengatur secara tegas, tetapi terdapat kekuatan mengikat wajib dilaksanakan oleh setiap orang dan lembaga negara sehingga tercipta integrity of the legal system. (Maruarar Siahaan, 2022:30).

Oleh karena itu, putusan MK berimplikasi juga terhadap keberadaan dan keberlakuan UUPA, sehingga perlu dilakukan perubahan. Selain itu, perlu juga dilakukan perubahan terhadap keberadaan dan kewenangan penyelenggara pemilu dan pilkada di Aceh (KIP, Bawaslu, dan Panwaslih). Terutama, keberadaan Bawaslu dan Panwaslih yang selama ini tidak efisien, serta menimbulkan dualisme kewenangan pengawasan.

Pengalaman keberlakuan UUPA berimplikasi hukum pasca putusan MK, salah satunya, Putusan MK No.42/PUU-XIII/2015, yang mengabulkan terhadap judicial review Pasal 7 huruf g dan Pasal 42 ayat (2) huruf k UU No.8/2015, diputuskan, mantan terpidana dapat mencalonkan diri dengan syarat, secara terbuka mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana. Pasca putusan tersebut, di Aceh, juga dilakukan judicial review kepada MK terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g UUPA, yang mengatur norma yang sama. Dalam Putusan MK No.51/PUU-XIV/2016, menyatakan pasal tersebut unconstitutional conditional. Sehingga, mantan terpidana di Aceh juga boleh menjadi calon kepala daerah.

Bercermin dari kasus tersebut, maka Putusan No.135/PUU-XXII/2024 juga akan berlaku sama. Meskipun demikian, prosedur dan proses perubahan (legislative review) UUPA, tidak serta merta dapat diubah, tanpa melakukan konsultasi dan pertimbangan DPRA, sebagaimana, diatur Pasal 269 ayat (3) UUPA. Bahkan, terhadap perubahan UU Pemilu dan UU Pilkada, jika substansinya mengatur penyelenggaraan di Aceh, sebagaimana Pasal 8 ayat (2) UUPA, prosesnya juga perlu konsultasi dan pertimbangan DPRA.

Oleh karenanya, momentum perubahan terkait norma pemilu dan pilkada dalam UUPA, bertepatan dengan pengajuan perubahan UUPA sebelumnya. Oleh karenanya, Pemerintahan Aceh, khususnya DPRA dapat memanfaatkan dengan baik, agar perubahan UUPA lebih memihak kepada rakyat Aceh. Semoga! amrizal@unimal.ac.id> 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved