Opini

AI dan Kematian Kepakaran

REVOLUSI digital telah membawa transformasi dalam dunia pendidikan. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi teknologi kunci

Editor: mufti
IST
M Ikhwan, Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Pengajar di STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh 

M Ikhwan, Mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Pengajar di STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh

REVOLUSI digital telah membawa transformasi dalam dunia pendidikan. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi teknologi kunci yang memengaruhi cara manusia belajar, mengakses informasi, dan mendefinisikan pengetahuan. AI digunakan dalam berbagai platform pembelajaran, seperti sistem pembelajaran adaptif, chatbot edukatif, aplikasi penulisan otomatis, hingga pendeteksi plagiarisme. Namun, di balik kecanggihan tersebut, terdapat paradoks yang mengkhawatirkan, teknologi yang awalnya ditujukan untuk memperkuat intelektualitas manusia justru berpotensi melemahkan kapasitasnya untuk berpikir reflektif dan kritis.Kekhawatiran ini mencapai puncaknya dalam gejala yang disebut “matinya kepakaran” (the death of expertise), yakni saat otoritas ilmiah dan proses keilmuan perlahan kehilangan legitimasi, tergantikan oleh budaya instan, populisme digital, dan ketergantungan pada algoritma. Ketika narasi dan klaim kebenaran lebih ditentukan oleh mesin dan popularitas dibanding dengan hasil riset dan nalar ilmiah, maka pendidikan menghadapi krisis eksistensial yang serius.

AI dan ilusi pengetahuan

AI menyediakan akses cepat terhadap informasi yang tak terbatas. Aplikasi seperti ChatGPT, Bing AI, dan Claude menawarkan jawaban instan atas berbagai pertanyaan, dari hal sederhana hingga konsep kompleks. Hal ini menciptakan kesan bahwa pengetahuan bisa diperoleh tanpa proses kognitif yang panjang, di sinilah muncul apa yang disebut Nicholas Carr (2011) sebagai “superficial reading” dalam bukunya “The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains” yang membaca permukaan tanpa kedalaman. Ketika siswa atau mahasiswa terbiasa menyalin jawaban dari mesin, maka yang terjadi bukan transfer pengetahuan, melainkan pengabaian terhadap proses epistemologis.

Epistemologi klasik menekankan bahwa pengetahuan bukan sekadar kumpulan informasi, melainkan hasil dari proses berpikir, penalaran, dan pengalaman. AI memang mampu menyusun narasi logis, namun tidak mampu menyaring kebenaran secara epistemis. Kemampuan AI dalam menjawab pertanyaan tidak dibarengi dengan pemahaman kontekstual atau refleksi nilai. Akibatnya, pengguna bisa terkecoh oleh “jawaban pintar” yang sebenarnya tidak didasarkan pada logika ilmiah atau data yang valid.

Sebagai contoh, banyak kasus di mana AI menghasilkan informasi yang tidak akurat, bahkan fiktif, namun tetap digunakan oleh pelajar tanpa verifikasi. Ini dikenal sebagai AI hallucination, fenomena ketika sistem AI menghasilkan pernyataan yang terdengar benar namun keliru secara faktual. Ketika pola ini terus direproduksi dalam pendidikan, maka siswa tak lagi dibentuk sebagai pemikir kritis, melainkan sebagai pengguna pasif informasi.

Ilusi pengetahuan yang dihasilkan oleh AI tidak hanya mengaburkan proses berpikir, tetapi juga menjadi bagian dari gejala yang lebih besar yaitu pergeseran makna pendidikan itu sendiri. Di tengah gempuran teknologi, pendidikan cenderung kehilangan jati dirinya sebagai proses pembentukan manusia yang utuh. Kita tidak hanya menghadapi tantangan epistemologis, tetapi juga tantangan struktural dan ideologis, di mana pengetahuan dikemas sebagai komoditas. Pada titik inilah kita menyaksikan bagaimana kecerdasan buatan turut memperkuat logika pasar dalam dunia pendidikan.

Perkembangan teknologi digital telah mendorong pendidikan ke arah komodifikasi. Pengetahuan tidak lagi diperlakukan sebagai proses eksistensial, tetapi sebagai barang yang bisa diproduksi, dikonsumsi, dan dijual. Pendidikan tinggi bersaing melalui indikator kuantitatif seperti peringkat, akreditasi, dan output publikasi, bukan kualitas pembelajaran. AI masuk ke dalam logika ini sebagai alat efisiensi dan produktivitas.

Seperti dijelaskan oleh Henry Giroux (2014) dalam bukunya “Neoliberalism's War on Higher Education”. Ia menyebut neoliberalisme telah mengubah pendidikan menjadi institusi pasar yang mengejar profitabilitas ketimbang emansipasi intelektual. Kurikulum didesain sesuai kebutuhan industri digital, bukan pembentukan karakter kritis. Humaniora, etika, dan filsafat yang menjadi fondasi berpikir mendalam, dikesampingkan karena dianggap “tidak produktif”. Mahasiswa didorong untuk menyelesaikan studi cepat, menghasilkan karya tulis sebanyak mungkin, dan siap kerja. Dalam konteks ini, AI digunakan untuk mengakselerasi produksi pengetahuan, tetapi bukan untuk memperdalamnya.

AI membantu membuat ringkasan, menulis esai, bahkan menyusun proposal riset. Harus diakui, ini berguna jika digunakan secara bijak. Namun tanpa literasi digital yang kuat, penggunaan AI justru mempercepat proses pembodohan secara sistemik. Tugas akhir berubah menjadi produk hasil “copas cerdas”, bukan refleksi dari pergulatan intelektual. Komodifikasi pengetahuan menjadikan pendidikan kehilangan maknanya sebagai human formation dan bergeser menjadi data processing.

Bayang-bayang AI

Dalam masyarakat digital, posisi kepakaran tidak lagi ditentukan oleh proses akademik yang sah, tetapi oleh seberapa besar visibilitas seseorang di media sosial. Populisme digital menciptakan lanskap baru di mana suara yang paling nyaring, paling sering muncul, dan paling disukai lebih dipercaya ketimbang suara ilmiah yang melalui proses panjang. AI, dengan kemampuannya memproduksi konten dalam skala besar dan cepat, memperparah situasi ini.

Kepakaran ilmiah selama ini dibangun melalui akumulasi pengalaman, metodologi, pembuktian ilmiah, dan pengujian sejawat. Namun kini, orang bisa terlihat “pakar” hanya karena memiliki banyak pengikut, kontennya viral, atau menggunakan bahasa yang terdengar meyakinkan atau karena kemahirannya dalam menggunakan alat-alat AI tersebut, yang oleh Tom Nichols (2017) menyebutnya sebagai the death of expertise (kematian kepakaran). Otoritas berpindah dari akademisi ke influencer. Kita menyaksikan bagaimana banyak informasi palsu atau keliru disebarluaskan oleh figur publik yang tidak memiliki latar belakang keilmuan, tetapi dipercaya publik karena retorika mereka menarik dan mudah dicerna.

Kematian kepakaran juga berarti kematian institusi validasi ilmu pengetahuan. Artikel, opini, dan bahkan teori-teori aneh bisa muncul dari mesin AI dan menyebar luas tanpa filter. Di sini, kita menghadapi era post-truth, di mana emosi dan opini mengalahkan fakta dan rasionalitas. Jika pendidikan gagal membekali peserta didik dengan kemampuan literasi kritis, maka generasi masa depan akan tumbuh dalam ruang informasi yang bising, tanpa kejelasan nilai kebenaran.

Komodifikasi pengetahuan ini berdampak langsung pada relasi antara pendidik, peserta didik, dan otoritas keilmuan. Ketika proses pendidikan direduksi menjadi produksi output semu, maka otoritas ilmiah pun ikut tergerus. Harus disadari bahwa penggunaan AI bukan hanya alat bantu produktivitas, melainkan juga dapat menjelma menjadi bagian dari sistem yang mengaburkan batas antara keahlian dan kepalsuan. Inilah yang membuka jalan bagi krisis kepakaran, saat populisme digital dan algoritma sosial media mengambil alih peran yang seharusnya dijalankan oleh tradisi keilmuan yang kritis dan reflektif.
Di tengah ancaman ini, dunia pendidikan tidak boleh bersikap pasif. Justru, pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam mempertahankan nilai-nilai keilmuan.
 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved