Kupi Beungoh
Perempuan dan Pendidikan Tinggi, Musuh Agama?
Ada semacam anggapan bahwa peran perempuan cukup di ranah domestik, tidak perlu berlelah-lelah menuntut ilmu hingga ke jenjang...
Oleh Khairiatul Nurwanti, Mahasiswi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga asal Aceh Selatan
BUAT apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti ujung-ujungnya juga di rumah. Gelar itu tidak bisa dibawa ke akhirat. Kalimat-kalimat seperti itu bukan hanya sering didengar, tapi penulis alami sendiri.
Ketika memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2, sebagian orang di lingkungan saya justru meremehkan keputusan tersebut.
Bagi mereka, pendidikan tinggi bukan sesuatu yang layak diperjuangkan, apalagi jika pelakunya adalah perempuan. Ada semacam anggapan bahwa peran perempuan cukup di ranah domestik, tidak perlu berlelah-lelah menuntut ilmu hingga ke jenjang yang tinggi.
Pandangan ini tentu sangat mengkhawatirkan. Di lingkungan tempat saya tinggal, masih banyak orang yang memandang pendidikan formal sebagai sesuatu yang kurang penting. Sebagian besar hanya menyelesaikan sekolah hingga tingkat SMP atau SMA, bahkan ada yang berhenti di jenjang SD.
Bukan semata karena keterbatasan akses atau ekonomi, tetapi lebih karena adanya anggapan bahwa sekolah tidak memberi manfaat dunia maupun akhirat. Sebagai gantinya, banyak anak justru diarahkan untuk lanjut ke pondok pesantren. Bukan karena pesantren buruk, pesantren adalah hal yang sangat baik namun karena ada keyakinan bahwa hanya ilmu agama yang layak dikejar.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah munculnya anggapan bahwa pendidikan tinggi justru menjauhkan seseorang dari agama. Orang-orang yang memilih melanjutkan kuliah sering dicap terlalu mencintai dunia, haus status, atau merasa lebih pintar dari orang lain. Mereka dicurigai akan menjadi pribadi yang sombong dan melupakan ajaran agama.
Sementara itu, mereka yang tidak menempuh pendidikan tinggi dianggap lebih sederhana, lebih tawadhu, dan lebih “dekat dengan Tuhan.”
Saya mengenal banyak orang yang berasal dari pesantren dan kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka tidak menjadi jauh dari agama. Justru mereka menjadi pengajar, penulis, bahkan pemimpin masyarakat yang membawa nilai-nilai keislaman ke ruang-ruang publik dengan cara yang lebih rasional dan humanis.
Mereka bisa berdialog dengan berbagai kalangan, menjembatani perbedaan, dan menghadirkan Islam sebagai agama yang ramah, bukan marah.
Masalah utamanya bukan pada lembaga pendidikan, melainkan pada cara pandang masyarakat terhadap pendidikan itu sendiri.
Kita sering lupa bahwa menuntut ilmu adalah perintah agama. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.” Ilmu yang dimaksud tidak terbatas pada fikih atau tafsir, tetapi juga meliputi pengetahuan yang membantu umat Islam bertahan dan berkembang di tengah dunia yang terus berubah.
Kita dapat mengenang teladan Aisyah RA, istri Rasulullah Saw. Ia dikenal sebagai salah satu perempuan paling cerdas dalam sejarah Islam. Aisyah tidak hanya meriwayatkan lebih dari 2.000 hadis, tetapi juga menjadi rujukan para sahabat dalam hal fikih, sastra, hingga sejarah.
Ulama seperti az-Zurri bahkan menyatakan bahwa ilmu Aisyah melebihi seluruh perempuan pada zamannya. Ini bukti bahwa perempuan berilmu bukan hanya sah, tapi sangat dibutuhkan oleh umat.
Tak hanya itu, Aceh juga memiliki pahlawan perempuan luar biasa bernama Cut Nyak Dhien. Kita mengenalnya sebagai pejuang bersenjata, tapi tak banyak yang tahu bahwa beliau juga memiliki pendidikan agama yang kuat. Ia menguasai bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman, dan bekal intelektual itulah yang memperkuat daya juangnya. Ia menunjukkan bahwa ilmu bisa menjadi alat perlawanan terhadap ketertindasan, termasuk bagi perempuan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.