Breaking News

Kupi Beugoh

Bersama Cak Nur

Sebagai orang yang paling otoritatif tentang Cak Nur, Mas Budhy menjelaskan aspek-aspek penting tentang tokoh tersebut melalui

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Muhammad Alkaf, akrab disapa Bung Alkaf, seorang Esais Aceh 

Oleh: Bung Alkaf *)

RUANG kecil di gedung baru IAIN Langsa mulai sesak. Satu per satu peserta berdatangan memenuhi ruangan. Kursi mulai terisi. Akibatnya, beberapa yang datang belakangan harus rela duduk melantai. Semua mata lalu serius menatap televisi besar: melihat lekat Budhy Munawar Rachman.

Dari Jakarta, Mas Budhy, begitu saya menyapanya, sedang menjelaskan sosok Nurcholish Madjid. Cak Nur, sapaan Nurcholish Madjid, sedang diperingati kepergiannya. Atas nama Komunitas Buku (Kutub) IAIN Langsa, haulnya dirayakan. Haul yang kedua puluh.

Sebagai orang yang paling otoritatif tentang Cak Nur, Mas Budhy menjelaskan aspek-aspek penting tentang tokoh tersebut melalui pelacakan pertumbuhan intelektual Cak Nur.

"Ada tiga milestone dari pemikiran Cak Nur, ujar Mas Budhy.

Pertama pada periode enam puluhan akhir, melalui satu esainya, "Modernisasi bukan westernisasi." Esai ini melambungkan nama Cak Nur. Dia diangkat tinggi sebagai suksesor M Natsir, pemimpin Masyumi. 

Namun, bulan madu itu berakhir. Setahun setelahnya, Cak Nur membuat gegar Indonesia. Dia mengucapkan pidato yang mengubah jalannya sejarah Islam di Indonesia, "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat." 

Frasa yang paling terkenal dari pidato tersebut, yang sampai hari ini terus dibicarakan: "Islam Yes, Partai Islam No"  dan "Sekularisasi." Pidato itu sekaligus membuatnya berpisah jalan dengan Masyumi, betapa pun Cak Nur sangat mencintai partai itu, dan orang-orang di dalamnya karena persentuhan sejarah yang dialaminya.

"Pemikiran Cak Nur," sambung Mas Budhy, "semakin mantap sepulangnya dari Universitas Chicago." Penandanya adalah pidatonya di Taman Ismail Marzuki, dua puluh dua tahun setelah pidatonya yang menggemparkan jagat Indonesia itu. 

Cak Nur merasuki pemikiran muslim Indonesia melalui pamfletnya, Beberapa Renungan Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Dalam pidato itu, Cak Nur mengkonstruksi keberagamaan yang inklusif sebagai prasyarat utama muslim Indonesia untuk dapat hidup di alam modern.

Jika perjalanan intelektual Cak Nur dibentangkan melalui tiga milestone: 1969, 1970 dan 1992, kita akan menemukan satu frasa yang melingkupinya, Keislaman, Keindonesiaan, dan Kemoderenan. Frasa itu kini seperti mantra ajaib ketika hendak menjelaskan Islam seperti apa yang hendak dibumikan di Indonesia. Menjadi Islam,  tentu harus menjadi Indonesia, sekaligus menjadi modern.

Oleh karena itu, sejak kemunculan Cak Nur, muslim Indonesia melakukan pembacaan ulang apa yang disebut dengan ideologi Islam. Cak Nur memahami tentang gelegak ideologi, yang baginya, akan menutupi api Islam sehingga Islam harus dibebaskan dari jebakan simbolik dan cita-cita Islam haruslah menjadi agenda bersama. Cita-cita Islam yang luhur adalah yang berpihak kepada kemanusiaan. Cak Nur mempercayai itu, bahkan landasan kepercayaannya berasal dari Al Quran. Oleh karenanya, Cak Nur acap mengutip Quran sebagai basis argumennya.

"Gus Dur pernah menyampaikan pesan kepada saya agar Cak Nur tidak perlu untuk selalu mengutip Quran ketika menyampaikan pikirannya,"kenang Mas Budhy sambil tersenyum.

Dia menyampaikan hal tersebut kepada Cak Nur. Dengan santai, kenang Budhy, Cak Nur mengatakan," Gus Dur bisa berujar demikian karena dia mewarisi darah biru Islam Indonesia karena cucunya KH. Hasyim Asyari, sedangkan saya tidak."

Setelah Mas Budhy menyampaikan gagasannya tentang Cak Nur, berturut-turut setelahnya, Rektor IAIN Langsa (Ismail Fahmi Arrauf Nasution), Wakil Rektor 1 (Amiruddin Yahya), dan Mustamar Iqbal Siregar menyampaikan pemikiran tentang Cak Nur. 

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved