Liputan Eksklusif Aceh

Kasus Polisi Gadungan Tipu Puluhan Warga, Pakar Hukum Unimal: Perkuat Edukasi Hukum Hingga ke Desa

Modus ini, kata Yusrizal, jika dibiarkan, dapat menurunkan kredibilitas aparat penegak hukum di mata masyarakat.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Muhammad Hadi
FOR SERAMBINEWS.COM
Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Dr. Yusrizal Hasbi 

Laporan Jafaruddin I Aceh Utara

SERAMBINEWS,COM, LHOKSUKON – Kasus penipuan yang dilakukan oleh IKN (52), pria asal Aceh Utara yang menyamar sebagai anggota Polri dan BNN sejak 2019, dinilai sebagai bentuk fraud yang sistematis, serius, dan sangat meresahkan masyarakat.

Selain menimbulkan kerugian materiil lebih dari Rp 400 juta dari puluhan korban, aksi pelaku juga mencederai kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Menurut Dr. Yusrizal Hasbi, pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, tindakan IKN tergolong penipuan berbasis impersonation — yaitu pengakuan palsu sebagai aparat negara.

Modus ini, kata Yusrizal, jika dibiarkan, dapat menurunkan kredibilitas aparat penegak hukum di mata masyarakat.

"Kejahatan ini bukan hanya soal kerugian materi. Ini menyangkut citra negara. Pelaku secara sadar memanfaatkan simbol kekuasaan untuk memperdaya orang lain demi keuntungan pribadi," ujar Dr Yusrizal kepada Serambinews.com, Jumat (8/8/2025).

Baca juga: Korban Polisi Gadungan di Aceh Utara Sebut Hilang Uang hingga Rp 170 Juta

Dr Yusrizal menjelaskan bahwa sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang khusus dapat dikenakan kepada pelaku.

Di antaranya Pasal 378 KUHP: Penipuan, dengan ancaman penjara hingga 4 tahun, Pasal 372 KUHP: Penggelapan, jika pelaku menerima dan menguasai barang korban.

Selanjutnya, Pasal 263 KUHP: Pemalsuan surat, bila digunakan dokumen atau identitas palsu, Pasal 93 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI: melarang siapa pun mengaku sebagai anggota Polri tanpa hak dan Pasal 28 Ayat (1) UU ITE: Jika penipuan dilakukan melalui media elektronik.

Selain itu, bila pelaku menggunakan intimidasi atau paksaan, bisa dikenakan Pasal 369 KUHP tentang pemerasan, serta Pasal 266 KUHP jika melibatkan penyampaian keterangan palsu dalam dokumen resmi.

"Pengakuan sebagai aparat adalah bentuk tipu muslihat yang masuk dalam unsur delik Pasal 378. Itu sudah cukup kuat membuktikan niat jahat pelaku," tambahnya.

Untuk membuktikan pidana penipuan, kata Yusrizal, diperlukan pembuktian atas unsur-unsur yang meliputi niat menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, kemudian adanya tipu muslihat atau rangkaian kebohongan dan korban tergerak menyerahkan harta atau memberi keuntungan

IKN memenuhi unsur tersebut melalui pengakuan palsu sebagai polisi, penggunaan airsoft gun dan borgol, serta menjanjikan pekerjaan kepada korban dengan imbalan uang.

Baca juga: Seorang Polisi Gadungan di Aceh Utara Tipu Puluhan Warga, Kerugian Capai Rp 402 Juta

Dr. Yusrizal menekankan bahwa para korban berhak mendapatkan perlindungan hukum dan ganti rugi.

Hak-hak korban mencakup melapor ke kepolisian (Pasal 108 KUHAP), Perlindungan hukum selama proses hukum (UU No. 13 Tahun 2006 jouncto UU No 31 Tahun 2014, lalu mengajukan permohonan restitusi atau ganti rugi dan menyampaikan keterangan dalam persidangan

"Korban bisa mengajukan restitusi melalui LPSK atau gugatan perdata berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata jika ingin menuntut ganti rugi secara materiil maupun immateriil," jelasnya.

Dalam kasus seperti ini, lanjut Dr Yusrizal, korban disarankan melakukan langkah pelaporan sebagai berikut, segera mendatangi Polres atau Polda terdekat dengan membawa bukti transaksi, komunikasi, dan saksi.

Selanjutnya, memastikan mendapat nomor laporan polisi (LP) dan engawal perkembangan kasus melalui saluran resmi.

Menurut Dr. Yusrizal, rendahnya literasi hukum dan rasa hormat berlebihan terhadap simbol negara adalah faktor utama yang membuat masyarakat mudah tertipu.

"Kebanyakan masyarakat percaya pada figur yang tampil meyakinkan atau mengaku punya koneksi pejabat. Padahal, ini justru yang sering dimanfaatkan penipu," jelasnya.

Faktor ekonomi juga memainkan peran penting. Banyak korban tergiur janji pekerjaan atau keuntungan cepat, terutama di wilayah dengan tingkat pengangguran tinggi.

Ia menyarankan agar aparat dan pemerintah daerah memperkuat edukasi hukum hingga ke desa-desa, melalui program penyuluhan hukum masyarakat, seperti community policing atau law awareness campaign.

Materi edukasi seharusnya menekankan pada hak masyarakat untuk memverifikasi identitas aparat, kemudian tidak ada pungutan liar dalam proses rekrutmen PNS, Polri, atau BNN dan cara melaporkan tindakan mencurigakan.

Baca juga: Korban Polisi Gadungan di Aceh Utara Sebut Hilang Uang hingga Rp 170 Juta

Penambahan sanksi

Terkait penggunaan airsoft gun dan borgol oleh pelaku, Dr. Yusrizal menyebut perlunya pengawasan ketat terhadap penjualan atribut yang menyerupai perlengkapan aparat.

"Perlu ada sistem registrasi dan distribusi yang ketat untuk atribut milik negara. Penjualannya harus terbatas dan tercatat, bukan bebas seperti sekarang," tegasnya.

Ia juga mendorong revisi atau penambahan sanksi dalam peraturan perundang-undangan, agar penyalahgunaan simbol negara dapat dijerat lebih tegas.

Kasus IKN bukan hanya soal penipuan pribadi. Ini adalah peringatan keras bahwa simbol negara bisa disalahgunakan siapa saja bila tidak diawasi.

Menurut Dr. Yusrizal, upaya hukum harus diiringi edukasi, pengawasan, dan reformasi sistem perlindungan publik.

“Negara tidak boleh kalah oleh pelaku yang menyalahgunakan citra institusi. Penegakan hukum harus kuat, dan masyarakat harus didukung untuk lebih cerdas secara hukum,” pungkasnya.(*)

Baca juga: Gara-gara Tak Teliti Tanda Tangan Surat, Rapat DPRD untuk Bahas APBD 2025 Pindah ke Hotel Semarang

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved