KUPI BEUNGOH
Kurikulum Cinta dan Jalan Baru Pendidikan Humanistik
istilah Kurikulum Cinta bukan sekadar jargon yang manis terdengar, melainkan mengandung nilai filosofis dan spiritual yang mendalam
Oleh: Rifki Ismail, S.Ag., MPd*)
Dalam dunia pendidikan, istilah kurikulum kerap dipahami sebagai kerangka teknis yang memuat struktur pembelajaran, indikator kompetensi, serta tujuan akademik yang harus dicapai oleh peserta didik.
Namun, peluncuran Kurikulum Berbasis Cinta oleh Kementerian Agama Republik Indonesia pada Juli 2025 menandai sebuah perubahan paradigma yang mendalam, yaitu pendidikan tidak lagi sekadar transmisi pengetahuan, melainkan proses holistik yang memanusiakan manusia.
Dalam konteks ini, istilah Kurikulum Cinta bukan sekadar jargon yang manis terdengar, melainkan mengandung nilai filosofis dan spiritual yang mendalam.
Sebagai seseorang yang telah mengalami dunia pendidikan dari berbagai sisi, baik itu sebagai siswa, guru madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, hingga aliyah, dan kini sebagai ASN di lingkungan Kementerian Agama, saya menyambut baik istilah "cinta" sebagai ruh baru pendidikan kita.
Pengalaman masa kecil saya di madrasah begitu melekat dalam ingatan, ketika seorang guru hanya menyebutkan kata cinta saja, seisi kelas langsung tersenyum.
Ada getaran yang berbeda. Kata itu seperti kabar baik yang membangkitkan semangat dan ketulusan.
Bahkan ketika saya memimpin apel pagi atau menjadi narasumber pelatihan saat ini, menyelipkan kata cinta dalam kalimat selalu mengundang perhatian khusus.
Cinta seolah membuka pintu hati setiap orang yang mendengarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa istilah cinta memiliki kekuatan tersendiri. Ia adalah bahasa yang universal dan lintas usia.
Anak-anak, remaja, hingga orang dewasa merespons kata ini dengan kedekatan emosional. Maka, dalam pendidikan yang sejati, kata cinta adalah jembatan untuk memahami peserta didik sebagai manusia utuh.
Tidak cukup hanya membentuk kecerdasan kognitif, pendidikan juga harus menumbuhkan empati, welas asih, dan kesadaran akan makna hidup bersama.
Dalam pandangan Islam, cinta bukanlah istilah asing. Konsep cinta kepada Allah (mahabbah), cinta kepada Rasulullah, cinta kepada ilmu, dan cinta kepada sesama manusia bahkan merupakan inti dari spiritualitas Islam.
Kitab-kitab kuning di lingkungan dayah misalnya, banyak memuat pembahasan tentang cinta sebagai pendorong ibadah dan akhlak mulia.
Dalam Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali, cinta kepada Allah adalah maqam tertinggi dalam perjalanan ruhani. Bahkan, Al-Ghazali menegaskan bahwa ilmu tanpa cinta akan kering dan kehilangan makna.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.