Pojok Humam Hamid

Indonesia dan BRICS: Posisi Bebas Aktif dan Ketidaksenangan AS

Di tengah semua itu, bendera Merah Putih Indonesia berkibar. Bukan di pinggir lapangan, tapi di tengah gelanggang BRICS.

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

BRICS adalah gejala, tanda bahwa monopoli kekuasaan finansial yang dibangun pasca-Perang Dunia II mulai retak. 

Dan kini, ancaman datang langsung dari Donald Trump: tarif tambahan 10 % untuk negara yang “menyelaraskan diri” dengan kebijakan anti-Amerika ala BRICS.

Tarif, bagi Trump, bukan sekadar instrumen fiskal. Itu adalah senjata, sama tuanya dengan sejarah perdagangan modern. 

Inggris menggunakannya di abad ke-19 untuk melindungi industri tekstilnya dari kapas India. 

Amerika sendiri pernah memanfaatkan tarif Smoot-Hawley tahun 1930--yang malah memperdalam Depresi Besar--sebagai dinding ekonomi yang menghalangi impor. 

Uni Soviet menimpali dengan tarif balasan di tahun-tahun awal Perang Dingin. 

Kini, pola itu terulang, tapi dengan cita rasa abad ke-21.

Tarif bukan hanya soal uang, tapi sinyal politik, pengukur keberanian, dan tes loyalitas.

Trump tahu tarif adalah peluru yang bisa memukul dua sasaran sekaligus.

Ia menekan ekonomi lawan dan mengirim pesan ke penonton global. 

Trump menghukum lewat pasar, sambil memberi pesan politik.

Pilih kami-AS, atau bayar harga.

Bagi Indonesia, ini adalah ujian awal sebagai anggota penuh BRICS. 

Prabowo bisa saja membalas dengan retorika keras, memukul meja, mengklaim kedaulatan di hadapan kamera. 

Tapi itu akan memberi Trump narasi yang ia inginkan, bahwa BRICS memang musuh. 

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved