Breaking News

Kupi Beungoh

Aceh Damai, Perspektif Jurnalistik

Narasi antusiasme dan eforia serta suka cita jutaan masyarakat Aceh menyambut kabar penghentian konflik bersenjata

Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
Azhari, wartawan peliput konflik, damai, tsunami, dan rehab rekon Aceh, serta mantan Kepala Biro Aceh LKBN Antara. 

Berbagai komentar dari tokoh masyarakat, para akademisi, mahasiswa, bahkan harapan dari masyarakat yang mendambakan perdamaian mulai menghiasi halaman-halaman koran dan televisi lokal, nasional dan internasional. 

Akhirnya, pada 15 Agustus 2005 atau 20 tahun lalu, lewat MoU Helsinki, titik awal mengakhiri konflik bersenjata menjelma jadi kenyataan.

Dari proses dialog, penyerahan dan pemusnahan senjata GAM hingga "ngopi bareng" TNI dengan GAM, mewarnai narasi-narasi yang dibangun media lokal, nasional dan internasional.

Narasi antusiasme dan eforia serta suka cita jutaan masyarakat Aceh menyambut kabar penghentian konflik bersenjata, terus dibangun media sampai akhirnya pemberian "kado" otonomi khusus untuk Aceh.

Nyaris tanpa ada berita provokasi, apalagi narasi penghambat proses perdamaian di Aceh diberitakan media.

Dengan tingkat kesadaran yang tinggi bahwa damai Aceh adalah segala-galanya, tapi tidak mengurangi semangat independensi media, kritik konstruktif pun tetap berlaku bagi media saat itu.

Dari proses perdamaian, kesepakatan Helsinki, status Aceh daerah otonomi khusus, rekonsiliasi, dinamika politik hingga dampak sosial, tetap menjadi perhatian media untuk disebarkan kepada publik secara luas saat itu.

Melihat dari peran media itu lah, Pemerintah Aceh melalui Badan Rekonsiliasi Aceh serta Lembaga Wali Nanggroe, pada dua windu Damai Aceh menganugerahkan penghargaan kepada lebih 100 wartawan lintas media atas konstribusinya dalam proses perdamaian di provinsi berpenduduk sekitar 5,2 juta jiwa ini.

Baca juga: Wagub Bersama Wali Nanggroe Bertemu SBY, Bahas 20 Tahun Perdamaian Aceh dan Revisi UUPA

Harapan akan kemakmuran

Dua windu Damai Aceh, diharapkan dan tentunya menjadi harapan masyarakat agar Aceh terus damai, dan tetap menjadi daerah yang nyaman dan aman untuk semua orang.

Ekonomi berkembang, pembangunan pesat yang merata dan maju, dan lapangan kerja terbuka guna mencapai kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan. 

Kepekaan dan kepedulian dari para pemimpin Aceh, gubernur, DPR Aceh, para bupati dan wali kota, terutama yang diantara mereka berlatarbelakang adalah "pejuang" karena saat konflik tergabung dalam barisan GAM, terhadap ketertinggalan Aceh hari ini sangat dibutuhkan. 

Aceh hari ini yang berstatus sebagai provinsi yang berotonomi khusus berdasarkan Undang Undang tentang Pemerintah Aceh (UUPA), dengan kucuran anggaran pembangunan setiap tahunnya belasan triliun rupiah.

Tentunya diharapkan tak ada lagi jalan berbatuan dan sempit serta jembatan kayu yang menyulitkan mengangkut hasil pertanian warga yang hidup jauh di pedalaman.

Aceh hari ini diharapkan tak ada lagi sekolah berdinding kayu usang, bangku belajar beralas lantai dan ditambah lagi minimnya "cek gu" di sekolah rakyat, karena bisa berdampak kurang seleranya anak-anak ke sekolah.

Aceh hari ini juga tak ada lagi rakyat berbondong-bondong mencari alternatif pengobatan tradisional melalui bantuan dukun untuk mengatasi masalah kesehatannya karena di kampung mereka tidak ada petugas medis.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved