Setya Novanto Bebas Bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Hukumannya Disunat, Rugikan Negara Rp 2,3 T

Setya Novanto dapat bebas lebih cepat setelah hukuman penjaranya disunat dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara oleh MA.

|
Editor: Faisal Zamzami
KOMPAS.com/ABBA GABRILLIN
Mantan Ketua DPR, Setya Novanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (14/9/2018). 

SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Terpidana kasus korupsi E-KTP Setya Novanto (Setnov) telah bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat.

Setya Novanto terlibat dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP divonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018.

Mantan Ketua DPR RI ini merugikan negara Rp2,3 Triliun.

Mantan ketua umum Partai Golkar itu dapat bebas lebih cepat setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Setya Novanto ihwal vonis hukumannya.

Setya Novanto dapat bebas lebih cepat setelah hukuman penjaranya disunat dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara oleh MA.

Bebas Bersyarat

Setya Novanto bebas dari Lapas Sukamiskin, Bandung usai mendapatkan program Pembebasan Bersyarat (PB) dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kementerian Imigrasi). 

“Iya betul, sejak 16 Agustus,” kata Kabag Humas dan Protokol di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Rika Aprianti saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (17/8/2025).

Rika mengatakan, pengusulan Program Pembebasan Bersyarat Setya Novanto disetujui oleh Sidang TPP Ditjenpas pada 10 Agustus 2025 untuk direkomendasikan mendapatkan persetujuan lanjutan dari pimpinan.

Dia mengatakan, persetujuan rekomendasi diberikan bersama 1.000 usulan program Integrasi warga binaan seluruh Indonesia lainnya.

“Dengan pertimbangan telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif, berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 telah memenuhi persyaratan, berkelakuan baik, aktif mengikuti pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan risiko,” ujarnya.

Rika juga mengatakan, berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Setya Novanto telah memenuhi ketentuan telah menjalani 2/3 masa pidana.

Selain itu, Setya Novanto telah membayar denda sebesar Rp 500.000.000 uang pengganti, dibuktikan dengan surat keterangan LUNAS dari KPK No.B/5238/Eks.01.08/26/08 2025 tanggal 14 Agustus 2025, juga sudah membayar Rp.43.738.291.585 pidana uang pengganti, sisa Rp.5.313.998.118 (subsider 2 bulan 15 hari).

“Ini sudah diselesaikan berdasarkan ketetapan dari KPK,” ujarnya.

Berdasarkan hal tersebut, pada 16 Agustus 2025, Setya Novanto dikeluarkan dari Lapas Sukamiskin dengan Program Bersyarat, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tanggal 15 Agustus 2025 Nomor PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025.

“Sejak tanggal 16 Agustus 2025 maka status Setya Novanto berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, mendapatkan bimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Bandung sampai tanggal 1 April 2029,” ucap dia. 

Secara terpisah, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto mengatakan, Setya Novanto mendapatkan pembebasan bersyarat setelah dilakukan penilaian dari tim untuk menghitung masa hukumannya.

 “Pembebasan bersyarat. Berdasarkan hasil asesmen dari tim dan penghitungan menjalani masa hukuman dipotong remisi-remisi yang diterima selama menjalani di Lapas, adanya putusan PK yang memutuskan pengurangan masa hukuman yang bersangkutan, termasuk yang bersangkutan berdasarkan perhitungan telah membayar denda subsider,” kata Agus saat dihubungi Kompas.com, Minggu.

Baca juga: Setya Novanto Bebas Lebih Cepat Usai Hukumannya Disunat dan Dapat Remisi, Rugikan Negara Rp 2,3 T

MA kabulkan PK Setnov

Mantan Ketua DPR Setya Novanto dapat bebas lebih cepat setelah hukuman penjaranya disunat dari 15 tahun penjara menjadi 12 tahun dan 6 bulan penjara.

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Setya Novanto ihwal vonis hukumannya dalam kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP.

"Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan," demikian keterangan dari putusan nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dikutip dari laman resmi MA, Rabu (2/7/2025).

Sebagai informasi, Setya Novanto dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013, pada 24 April 2018.

Ia divonis 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Setya Novanto juga diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.

Majelis hakim juga mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana.

Kilas Balik Kasus e-KTP

Setya Novanto sebelum terseret kasus korupsi e-KTP merupakan sosok yang sudah malang-melintang di kancah perpolitikan Indonesia.

Karier politiknya dimulai sebagai kader Kosgoro pada 1974 dan menjadi anggota DPR Fraksi Partai Golkar untuk pertama kalinya pada 1998.

 Sejak saat itu, ia enam periode berturut-turut selalu mengamankan kursi di parlemen hingga 16 Desember 2015.

Setya Novanto juga merupakan sosok yang pernah menduduki kursi Ketua Umum Partai Golkar (17 Mei 2016 – 13 Desember 2017) dan Ketua DPR (30 November 2016 – 11 Desember 2017).

Singkat cerita, nama Setya Novanto menjadi tersangka kasus mega proyek e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 17 Juli 2017.

Kasus korupsi e-KTP sendiri bermula saat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2009 merencanakan pengajuan anggaran untuk penyelesaian Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAP).

Salah satu komponen program penyelesaian SIAP tersebut adalah Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Pemerintah pun menargetkan pembuatan e-KTP dapat selesai pada 2013.

Proyek e-KTP merupakan program nasional dalam rangka memperbaiki sistem data kependudukan di Indonesia.

Dilansir dari Kompas.com, Jumat (4/2/2022), lelang e-KTP dimulai sejak 2011, tetapi banyak bermasalah karena terindikasi banyak penggelembungan dana.

Kasus korupsi e-KTP pun terendus akibat kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

KPK kemudian mengungkap adanya kongkalikong secara sistemik yang dilakukan oleh birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN, hingga pengusaha dalam proyek pengadaan e-KTP sepanjang 2011-2012.

Akibat korupsi mega proyek secara berjemaah ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,3 triliun.

Keterlibatan Setya Novanto semakin kuat setelah namanya disebut dalam sidang perdana kasus tersebut dengan dua mantan pejabat Kemendagri, yakni Sugiharto dan Irman sebagai terdakwa.

Dalam dakwaan yang dibacakan jaksa di Pengadilan Tipikor, Kamis (9/3/2017), Novanto disebut memiliki peran dalam mengatur besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun.

Setelah melalui serangkaian proses hukum, majelis hakim memberikan vonis kepada para pelaku atas keterlibatan dalam tindak pidana korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Delapan pelaku telah divonis bersalah oleh pengadilan dan mendapat hukuman berbeda tergantung sejauh mana keterlibatan mereka.

Adapun Setya Novanto divonis 15 tahun penjara pada 24 April 2018.

Baca juga: Setya Novanto Koruptor Kasus E-KTP Dapat Remisi Khusus Idulfitri, Sudah Dapat Remisi Berkali-kali

Hukuman Setya Novanto Disunat, ICW: Korupsi Besar Harusnya Hukuman Diperberat

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menilai, hukuman mantan Ketua DPR-RI Setya Novanto (Setnov) seharusnya tidak disunat, melainkan diperberat.

Hal itu disampaikan Almas menanggapi pengabulan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Setnov terkait vonis hukumannya dalam kasus korupsi KTP elektronik.

"Meski PK adalah hak, tetapi melihat besarnya nilai dan dampak korupsi KTP elektronik, kami menilai setiap orang yang bersalah seharusnya dikenakan hukuman yang berat," kata Almas, melalui pesan singkat, Kamis (3/7/2025).

Terlebih, kata dia, Setnov memainkan peran sentral dalam kasus e-KTP dari tahap penganggaran hingga perencanaan pengadaan.

"Setya Novanto tidak hanya menggunakan pengaruh dan kewenangannya di DPR, tetapi ikut memanipulasi tender proyek," tutur Almas.

Oleh sebab itu, ICW mempertanyakan apa bukti baru atau alasan hakim menyunat vonis hukuman Setnov.

Dia bahkan khawatir putusan tersebut punya efek negatif terhadap pemberantasan korupsi, khususnya pada aspek menghadirkan penindakan yang berdaya cegah dan menimbulkan efek jera.

 "Harusnya dengan korupsi yang bernilai besar, merugikan masyarakat, dan menghambat transformasi sistem administrasi kependudukan, serta bisa dibilang merupakan contoh skandal korupsi politik yang sempurna, ditunjukkan kongkalikong eksekutif, swasta, dan legislatif, hukumannya diperberat," ujar dia.

 

Baca juga: Hari Kemerdekaan, Produk Emas di Pegadaian Ambruk, Cek Harga Emas UBS, Galeri24 dan Antam Hari Ini

Baca juga: Lebihi Kapasitas, Lapas Lhoksukon Usul Remisi Umum & Dasawarsa Bagi Napi

Baca juga: Rekap Hasil UFC 319: Hajar Dricus Du Plessis, Khamzat Chimaev Pertahankan Rekor Tak Terkalahkan

Artikel ini telah tayang di Kompas.com 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved