Karya Farizal Sikumbang
ADAKAH kenangan yang tidak tidak bisa dilupakan? Kenangan yang mengais sebuah masa. Melingkar-lingkar seperti gasing, lalu meninabobokan hingga lena?
***
Nenek berkisah, bahwa selendang merah jambu itu menyimpan kenangan yang tak terlupakan baginya. Kenangan yang membuat nenek mencintai selendang itu melebihi cintanya kepada almarhum kakek. Dengan setia nenek terus merawat selendangnya. Merawat selendang itu bagi nenek seperti mengekalkan rasa cintanya pada seseorang. Dan aku berpikir, betapa menderitanya almarhum kakek sejak dulu karena itu, sebab lelaki yang dicintai nenek bukanlah kakek. Ibu tahu betul tentang itu. Ibu dulu juga pernah berujar, bahwa kakek adalah lelaki yang sangat mencintai nenek. Meski kakek tahu, nenek menyimpan kenangan pada laki-laki lain.
Berulang kali ibu pernah menyarankan pada nenek untuk melupakan selendang merah jambu itu. Ibu juga pernah mengatakan pada nenek betapa menderitanya kakek karena setiap hari dirajam api cemburu hingga di akhir hayatnya. Tapi sampai sekarang nenek seperti tidak mau peduli. Nenek masih saja merawat selendang itu.
Kini setelah kepergian kakek, setiap sore nenek duduk di tingkap jendela sambil matanya memandang lepas ke luar pada hamparan sawah yang kini hanya tinggal dua petak. Dari jendela itu, nenek seperti berharap seseorang yang entah siapa akan datang padanya. Ibu mulai cemas melihat kebiasaan nenek itu. Ibu takut suatu saat nenek menjadi tidak waras. Aku pun mencemaskan nenek.
Tapi suatu senja, di tingkap jendela, nenek mengajakku untuk duduk bersamanya. Nenek mengatakan supaya aku mau mendengar sebuah kenangan. Juga tentang sebuah masa, di mana ketika itu nenek masih menjelma sosok yang jelita.
Nenek mengatakan pertama kali dia melihatnya saat hujan turun. Kala itu dia sedang beristirahat di pondok depan rumah ini bersama beberapa serdadu lainya setelah menggeledah kampung mencari orang-orang rimba. Di tingkap jendela ini, persis di sini, kata nenek, dia melihat ada raut kelelahan di wajahnya. Mungkin dia dan teman-temannya merasa kecewa karena tidak menemukan buruannya.
Nenek juga menggambarkan saat itu orang itu telah menjelma bagai sosok pangeran yang datang entah dari kota mana. Sungguh, saat itu nenek terpesona. Nenek tiba-tiba saja telah jatuh hati padanya. Nenek tidak tahu mengapa bisa begitu.
“Mengapa nenek begitu gampang jatuh hati padanya. Apakah dia sangat gagah?” Tanyaku seperti kurang percaya ketika itu.
“Ya, dia memang gagah. Bahkan teramat gagah. Nenek terpesona,” jawab nenek pula. Aku tersenyum mendengar jawaban nenek yang polos itu.
Dari jendela, kata nenek, ia terus memperhatikannya. Memperhatikan sambil berharap dia melihat dan berjalan ke arah nenek, lalu mengajak nenek berbicara. Tapi ternyata tidak. Nenek tidak pernah berkenalan dengannya saat itu. Dia tidak pernah melihat ke arah nenek. Nenek kecewa.
Ketika laki-laki itu dan serdadu lainnya pergi setelah hujan reda, nenek seperti kehilangannya. Entah mengapa. Padahal nenek tidak mengenalnya.
Nenek mengatakan saat itu kampung kami masih berupa sawah-sawah yang membentang. Hutan-hutan kecil masih mengepung kampung. Semak-semak masih melingkari rumah kami. Hidup saat itu kata nenek sangat sulit. Apalagi perang tengah berlangsung. Orang-orang kampung sangat ketakutan ketika serdadu dari kota mencari orang rimba untuk ditangkap.
Nenek bertemu lagi dengannya dua hari setelah kejadian itu. Nenek menemukannya ketika dia duduk di depan pos ronda kampung. Saat itu dia sendiri. Dia masih berpakaian tentara. Nenek mengaku sangat terkejut pada pertemuannya itu, sebab dia tersenyum dan menatap nenek. Nenek tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Apalagi ketika dia mendekat ke arah nenek. Tubuh nenek seperti dialiri sesuatu. Sesautu yang menyebabkan nenek gemetar.