Cerpen

Selendang Nenek

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

“Aku telah punya kesepakatan dengan anak buahku di atas gunung sana,” kata buyutku sambil menunjuk ke arah gunung.

“Kesepakatan apa?” Tanya buyut perempuanku.

“Kesepakatan, bahwa siapa saja yang berhasil menembak Letnan itu, dia akan dinikahkan dengan, kau Nurjanah.”

Mendengar itu nenek terperangah. Nenek seperti tidak percaya atas perjodohan itu. “Kenapa Bapak begitu?” Tanya nenek terisak. “Ini demi perjuangan. Kau harus mau. Orang  mengorbankan nyawanya demi pemberontakan ini. Aku harap kau ikhlas,” jawab buyutku.

Nenek lalu berlari ke arah pintu. menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Nenek menangis sejadi-jadinya, tapi katanya buyutku tidak peduli sampai akhirnya dia kembali ke atas gunung.

“Kalau begitu, aku sudah dapat menebak isi ceritanya, nek,” kataku.

“Ya, mungkin saja,” jawab nenek.

“Jadi, Letnan Waloyu itu tewas kena tembak?” Nenek mengangguk.

“Dia tertembak pada suatu petang. Itu, di tanah yang kini dibangun rumah-rumah itu. Dia tertembak setelah berkunjung ke rumah ini. Mengunjungi nenek.”

“Dan, tentu yang menembak itu adalah kakek, bukan?” Tanyaku penasaran.

Nenek tidak langsung menjawab, pandangan dilepaskannya ke luar. “Ya, dia yang menembaknya. Setelah perang usai, nenek dinikahkan oleh buyutmu. Nenek pasrah.”

“Jadi, itu sebabnya nenek tidak pernah mencintai kakek?” Nenek tidak menjawab langsung. Nenek diam. Aku melihat nenek masih seperti memikirkannya. Ya, memikirkan Letnan Waluyo itu. Dan entah sampai kapan nenek akan seperti itu. Duduk di tingkap jendela sambil matanya memandang lepas ke luar, seperti berharap seseorang akan datang padanya. Ya, kenangan telah melingkar-lingkar seperti gasing di kepala nenek. Meninabobokannya hingga lena. Ternyata ada kenangan yang tidak bisa dilupakan. Ya, sejak berpuluh-puluh tahun silam.

*  Farizal Sikumbang, cerpenis dan guru di SMA 2 Seulimeum. 

Berita Terkini