Cerpen

Selendang Nenek

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dia juga meyakinkan nenek, bahwa ini tidak ada hubungannya dengan rasa kecewanya kepada buyutku karena tidak direstui untuk mendekati nenek. Untuk meyakinkan rasa sukanya pada nenek, dia lalu memberikan sebuah selendang merah jambu. Dia juga mengatakan tidak akan patah semangat karena tidak direstui. Suatu hari dia berjanji  akan membawa nenek ke kota. Sejak itu nenek semakin tergila-gila padanya. Ya, semenjak selendang itu diberikannya kepada nenek.

Apalagi sejak pengeledahan itu buyutku tidak pernah pulang. Kata nenek, buyutku memang ternyata seorang pemberontak. Orang rimba. Aku membayangkan tentu buyutku juga seorang laki-laki yang gagah.

“Lalu, setelah itu, bagaimana ceritanya, Nek?” Tanyaku. Nenek termenung, “Sayang, tanah itu kini hanya tinggal dua petak,” kata nenek. “Padahal di tanah itu dulu banyak sekali kenangan yang membentang.”

“Itulah Nek, orang kampung selalu tergoda untuk menjual tanah demi segepok uang,” kataku.

“Tapi, tidak apa juga.”

“Tidak apa? Kenapa Nek?” Tanyaku agak heran.

 Sejenak  nenek menatapku.

“Kau tidak tahu, dibangunnya rumah-rumah itu juga telah mengubur sebuah kenagan pahit.”

“Maksud nenek?”

“Nanti kau akan tahu,” jawab nenek. Dan setelah dua minggu buyutku tidak pulang, kata nenek, akhirnya buyutku datang pada suatu malam. Nenek ingat bapaknya datang dengan pakaian yang lusuh dan tubuh yang lebih kurus. Buyutku lalu menyuruh nenek duduk di depannya bersama buyut perempuanku. Katanya dia ingin berbicara tentang sesuatu yang penting. Dan dia tidak punya waktu yang cukup lama untuk menjelaskannya.

“Mungkin kalian tidak tahu, bahwa aku, pimpinan pemberontak di kampung ini. Aku adalah orang yang sangat dicari. Dicari tentu saja oleh, siapa nama teman kau dulu itu?” tanya buyutku pada nenek.

“Siapa, pak?”

“Itu, tentara yang berkenalan denganmu itu? Siapa namanya?”

“Waluyo.”

“Ya, Letnan Waluyo, dan pasukannya itu.”

Halaman
1234

Berita Terkini