Cerpen

Selendang Nenek

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dia lalu mengajak nenek  singgah di pos ronda itu. Nenek menyanggupinya. Padahal kala itu nenek harus segera ke sawah menyusul ibunya untuk mengantar  makanan. Nenek telah terbius olehnya. Mungkin habis waktu satu jam lebih mereka berbicara menanyakan berbagai ihwal. Jika saja buyutku kala itu tidak segera muncul di pos ronda itu, mungkin nenek tidak akan pernah beranjak. Dengan perasaan agak rendah diri, nenek dibawa pulang oleh buyutku.

Sesampai di rumah nenek dimarahi. Nenek dicaci karena telah membiarkan buyutku kelaparan di sawah. Dan yang terpenting, nenek disebut-sebut sebagai gadis yang lancang, sebab berdua-dua dengan lelaki yang baru dikenalnya. Apalagi dia itu seorang serdadu dari kota yang telah membuat orang kampung ketakutan, sebab dia pemburu orang rimba.

“Buat apa kau bicara denganya. Apa kata orang nanti. Bisa-bisa saya dituding berpihak pada serdadu kota. Pokoknya, kau jangan dekat denganya. Kau benar-benar keterlaluan, demi dia, kau biarkan bapak kelaparan. Tega sekali kau. Kau tahu, tanpa rasa bersalah, dia dan kawan-kawannya telah menembak Bujang Sabirin di sudut kampung. Padahal dia bukan pemberontak. Kau mau bapakmu ini dituduh bersekutu dengan tentara kota itu, hah?” umpat buyutku.

Nenek terdiam.

Sejak itu nenek diawasi. Nenek tidak boleh keluar rumah. Jika ketahuan, nenek langsung dimarahi. Nenek seperti gadis yang dipingit untuk dinikahkan. Tapi nenek tidak tahan juga. Suatu hari nenek ke luar rumah mencari laki-laki itu. Nenek menemuinya di pos ronda kampung.

“Berhari-hari aku telah menunggu kau lewat,” katanya pada nenek.

“Sampai begitu?” Tanya nenek seperti tidak percaya.

“Ya, kau tidak percaya?”

Nenek tersipu malu.

“Kalau begitu, maafkan aku.”

“Tidak apa-apa.”

Saat itu nenek menghabiskan sore dengannya di pos ronda kampung yang telah berubah fungsi menjadi markas tentara kota. Akhirnya nenek juga tahu, bahwa dia bukan prajurit biasa, tapi seorang komandan di garis depan.

Beberapa kali nenek terus mencuri waktu dengannya tanpa sepengetahuan buyutku, tapi orang sekampung tahu. Mereka memberitahukannya pada buyutku. Nenek kembali dicaci. Kali ini nenek diawasi lebih ketat. Kembali berhari-hari nenek  seperti merasa dipingit.

Sampai suatu hari, laki-laki dan pasukanya datang dan menggeledah isi rumah. Dia dan pasukannya datang menangkap buyutku karena dituduhnya pemberontak. Nenek terperangah. Nenek seperti tidak percaya. Nenek memarahinya. Tapi nenek terus diyakininya.

“Iya, berdasarkan laporan, bapakmu terlibat sebagai pemberontak. Aku hanya menjalankan tugas. Kuharap kau mengerti,” katanya pada nenek.

Halaman
1234

Berita Terkini