“Ibu, itu tiket pesawat yang akan membawa ibu ke Tanah Suci.”
Ibu mematung mendengar kata-kataku. Dia mematung melihat tiket itu. Aku meraih tangan kanannya dengan lembut dan menciumnya. Ibu tersentak saat hidung mancungku menyentuh punggung tangannya. Ibu memegang kedua bahuku, lalu menuntunku berdiri, merengkuhku, dan terisak sedu di pelukanku.
***
Kenangan itu berbeda saat ibu menyapaku lewat mimpi. Apakah ibu menyalahkanku atas kematiannya di Mekah? Bukankah ibu seharusnya berbahagia? Karena orang yang meninggal saat beribadah haji adalah syahid.
“Tidak...! Bukan aku penyebab Ibu meninggal!” hardikku.
Suara tokek menghentikan teriakanku, aku menoleh ke arah suara itu. Namun, tak ada apa pun di sana. Aku melihat ke sisi lain dinding. Tetapi, aku belum menemukannya, hanya ada beberapa cecak merayap malas. Beberapa nyamuk dengan perut kembung terjerat jaring laba-laba. Tapi aku tidak menemukan binatang belang tersebut. Di mana dia bersembunyi?
“Hei pengecut! Kenapa kau tidak menampakkan wajah belangmu? Kau pikir aku tidak tahu kalau kau meledekku dengan suara sengaumu!” teriakku kesal.
Aku mulai lelah mencari binatang itu dan memang tak ada gunanya. Mataku mulai mengantuk. Namun, pikiranku terus menerawang ke dunia entah-berantah. Kupejamkan kedua mata ini, cahaya lampu neon menusuk mataku. Karena terus memimpikan ibu, aku benar-benar tak bisa tidur malam ini. Aku tak ubahnya seperti seekor musang.
Kutatap sebuah cermin di dinding kamar, sesosok wajah berkumis dan berewok yang lebat menatapku. Aku menutup mata merasa takut melihat wajah itu. Aku mencari sesuatu yang bisa kulempar ke cermin dengan bayang wajah seram—aku membenci wajah itu! Tidak ada satu pun benda yang bisa kudapatkan di sini, kecuali bantal hitam bernoda air liurku.
Kepalaku berat, udara seperti menolak masuk ke paru-paru. Jantungku terasa berhenti berdetak, pandangan kabur, aku pun ambruk di atas tikar.
***
Kilatan cahaya putih menerangi kegegelapan. Sayup-sayup mataku menangkap sesosok perempuan tertatih-tatih berjalan mendekatiku. Lampu neon di kamar berkedip-kedip dan membuat pandanganku kabur. Perempuan tua itu kini berdiri di hadapanku. Dia adalah ibuku. Kuraih tangannya untuk kucium, tapi ia menyentak tanganku.
“Kenapa aku tidak boleh mencium tangan Ibu?” tanyaku tak rela.
“Kamu tidak pantas untuk mencium tangan Ibu,” hardiknya.
“Apa salahku, Ibu?”
“Kamu telah membohongi Ibu,” bentaknya dengan sorot mata melebar.
“Aku tidak pernah membohongi, Ibu,” jawabku membela diri.