Sebuah tamparan mengenai wajahku.
“Ini, kebohongan terbesarmu pada Ibu,” Ibu melempar sebuah amplop ke arahku.
Aku mengambil amplop itu di lantai. “Tiket ini untuk Ibu!” ucapku seraya memperlihatkan amplop padanya.
“Ibu tidak mau menunaikan ibadah dengan uang haram!” bentaknya terisak.
Ibu membalikkan badannya menuju pintu dengan langkah tertatih-tatih meninggalkanku diam seribu bahasa. Tanganku menggenggam erat amplop putih itu dengan perasaan hampa.
“Ibu tunggu!” seruku.
Tidak ada jawaban, selain gonggongan anjing menyalak di kejahuan. Suara anjing-anjing itu semakin lama semakin menusuk telinga. Aku pun menjerit, berteriak, melolong meniru binatang-binatang itu.
Aku pun tersentak dari tidurku!
Tubuhku basah oleh peluh. Aku berdiri dan menatap ke cermin. Kuperhatikan wajahku—rambut ikal panjang dan lusuh—kumis tebal dan berewok lebat yang semrawut. Aku menatap canggung ke wajah. Pipiku kemerah-merahan seperti baru saja ditampar. Aneh, pikirku. Aku duduk bersimpuh di lantai.
“Ibu, maafkan aku! Karena memenuhi impianmu naik haji dengan uang hasil penjualan sabu-sabu. Maafkan aku, Ibu! Aku benar-benar khilaf,” aku terisak dan menangis.
Gonggongan anjing menyalak di luar. Suara jerit tokek bergema di kamar. Makin lama suara itu makin memekakkan telinga.
“Hei anjing dan tokek jahanam, aku tidak berbicara dengan kalian! Kalian benar-benar telah membuatku marah. Malam ini aku akan mencari dan membunuh kalian!”
Aku berjalan keluar kamar yang terasa penjara bagiku. Aku akan tepati janjiku pada kedua binatang terkutuk itu. Aku akan membunuh mereka, biar suara mereka tidak lagi mengusikku. Kakiku tidak dapat digerakkan, sesuatu menarik kaki kiriku ketika hendak mencapai pintu. Aku menoleh ke belakang, sebuah rantai besi telah mengikat kakiku. Simpul ujungnya terikat pada tiang kayu yang tertancap di sudut kamar.
“Kenapa kalian mengikat kakiku? Aku ingin keluar mencari anjing dan tokek kemudian akan kubunuh mereka!” teriakku. “Jika kalian tidak mau melepaskanku, maka kalian pun akan kubunuh!”
“Biarkan aku pergi! Aku tidak mau tinggal di sini!” teriakku.