Keberadaan La Sape ditelusuri kembali ke tahun-tahun awal kolonialisme di negara itu.
Prancis telah membudayakan orang-orang Afrika dengan memberi mereka pakaian bekas Eropa sebagai upah atas pelayanan mereka.
Ini kemudian berlanjut dan menjadi gerakan sosial yang dihidupkan kembali pada tahun 1970 oleh musisi Papa Wemba, di Kinshasa, ibukota Republik Demokratik Kongo.
Baca: 5 Misteri Laut yang Masih Belum Terpecahkan, Dari Segitiga Bermuda Hingga Hiu Kanibal
Wemba mempromosikan budaya La Sape, menempatkan penekanan besar pada pakaian berkelas semua pria Kongo, terlepas dari perbedaan sosial mereka.
Wemba menggunakan ini dengan motif politik, melahirkan gelombang perlawanan rakyat terhadap rezim “autentisitas” Presiden Mobutu Sese Seko.
Ia memanfaatkan budaya berpakaian mewah ala Sapeur untuk menantang aturan berpakaian ketat yang melarang gaya Eropa dan Barat, yang dipaksakan oleh pemerintah.
Baca: Rupiah Kembali Melemah ke Rp 14.442 Per Dollar AS
Kini, Sapeur menjadi sebuah dilema di negara yang dihancurkan oleh perang saudara, pemboman, kemiskinan dan perampasan, dengan latar belakang lingkungan kumuh.
Sementara La Sape adalah gerakan revolusioner, yang pernah menentang para pemimpin politik, usaha berlebihan para Sapeur untuk mendapatkan pakaian berkelas menjadi keprihatinan.
Lebih jauh lagi, Sapeur menyadari prioritas kontras mereka dan menyatakan,"Sapeur adalah orang yang bahagia bahkan jika tidak makan, karena mengenakan pakaian yang tepat telah memberi makan jiwa dan memberi kesenangan pada tubuh".
Artikel ini tayang pada Intisari Online dengan judul : Hidup Ala La Sape, Rela Tak Makan dan Berutang Demi Pakai Baju Merek Ternama