Irjen Paulus Waterpauw Sebut Kekerasan di Papua Terkait Trauma Orde Baru Hingga Freeport

Editor: Fatimah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Irjen Pol Paulus Waterpauw

SERAMBINEWS.COM - PUTRA asli Papua dan Mantan Kapolda Papua/Papua Barat, Irjen Pol Paulus Waterpauw mengungkapkan musabab terulangnya kekerasan di wilayah Papua.

Baik perikaian horizontal semacam perang antarsuku maupun pembunuhan  dipicu banyak persoalan. Berikut ini lanjutan wawancara eksklusif wartawan Tribun Network dengan Paulus Waterpauw di kawasan Senayan, Jakarta.

Tribun: Apakah Anda Pernah mampir ke jembatan di Nduga, lokasi pembantaian korban para pembangunan Trans Papua?

Paulus Warterpauw: Ke lokasi, saya belum pernah. Karena lokasinya jauh. Hanya bisa pakai helikopter atau jalan darat, lewat hutan.

Jalan belum ada. Tapi kalau ke Kabupaten Nduga, saya ke sana saat masih kapolda. Saya mendampingi Pak Presiden Jokowi naik helikopter.

Baca: Realisasi APBA Harus Cepat

Lalu mobilitas di darat pakai mobil pick-up perusaahaan. Jadi tidak bisa bawa mobil, dari mana? Saya, pangdam, bupati, gubernur menemani beliau (Presiden) ke Nduga.

Apa dan bagaimana sebenarnya info intelijen yang anda dengan terkait kekeran di Nduga?

Sebelumnya, tidak ada perbuatan mengawali. Semuanya sudah terkondisikan secara baik.

Kami tidak pernah berpikir tentang adanya serangan secara sporadis. Kembali lagi bahwa, saya menduga ada yang memanfaatkan ruang.

Baca: RAPBK Pidie 2019 Mulai Dibahas

Mereka ada 1 desember dan ada natal dan tahun baru.

Selain pembunuhan oleh kelompok bersenjatan terhadap para pekerja PT Istaka Karya yang membangun jembatan bagian dari Trans Papua di Kabupaten Nduga, pada 1 Desember lalu, kekerasan kerap kali muncul di Papua.

Misalnya, perang antarsuku atau menawan pihak luar seperti di Mapenduma tahun 1996. Bagaimanan sebenarnya kondisi sosial-masyarakat Papua sepengetahuan anda?

Iya, selama saya menjabat di Papua, kekerasan sering terjadi.

Biasanya didasari pada dendam turun-temurun satu keluarga dengan keluarga lain, atau adat satu dengan lainnya.

Kemudian, keluarga ini membawa massa untuk ikut dalam kekerasan.

Baca: VIDEO - Mesin Tanam Padi Canggih Bantuan Pemerintah Mulai Digunakan Warga Bireuen

Padahal, permasalahan yang terjadi, tidak dirasakan langsung oleh keluarga yang ada pada saat ini. Permasalahan bisa saja terjadi, pada saat orangtua ataupun kakek-nenek sebelumnya.

Dendam turun-temurun seperti apa maksudnya? Kok bisanya menjadi dasar kekerasan atau pekelahian massal?

Mereka yang menjadi pelopor ini, tidak langsung merasakan permasalahan. Bisa jadi orangtuanya maupun kakek-nenek mereka punya masalah yang belum tuntas.

Misal, laki-laki satu suku menikahi perempuan suku lain. Padahal sebelumnya ada perselisihan, yang oleh pihak keluarga perempuan dianggap belum selesai.

Baca: PT EMM tak Kantongi IPPHK

Walaupun sudah terjadi perkawinan silang, belum tentu masalah sudah beres. Ini bisa diceritakan, semacam ada titipan kepada anak atau cucu bahwa masih ada masalah yang belum selesai, lalu  ini bisa pemicu terjadinya keributan di kemudian hari.

Lalu bagaimana cara mengatasi peperangan antarsuku, baik dari kacama anda sebagai asli kelahiran Papua maupun pendekatan hukum positif?

Saya biasanya mencari tokoh sentralnya.  Biasanya kami cari waimum, istilahnya.  Waimum seperti panglima perang.

Penanggung jawab. Ia bukan pemimpin suku biasanya, tapi mereka adalah keluarga inti dari korban. Meraka yang ada dalam penderitaan dalam duka itu sendiri. Kita cari siapa dia dalam strata keluarga.

Ciri-ciri orang yang menjadi pelopor, apabila pemicunya masalah pribadi, dapat dilihat secara kasat mata.

Pertama, pihak keluarga yang memiliki permasalahan itu, biasanya berada di tengah kerumunan. Ia dilindungi kelompoknya agar tidak tersentuh pihak lawan maupun aparat.

Kedua, dia itu biasanya memegang pisau yang terbuat dari tulang burung Kasuari berhias ekor. Pihak keluarga melindungi. Keluarga rela mati demi dia.

Baca: Muara Dua Juara Umum MTQ

Siapa pun, termasuk pihak aparat, tidak akan dapat menghentikan kekerasan ini.

Apalagi, jika kesedihan keluarga masih dirasakan. Selama mereka ini bersedih dan air mata masih mengalir, kekerasan ini tidak akan pernah berhenti.

Dalam beberapa kesempatan, sentimen terhadap rezim Orde Baru (Orba), trauma akan kekerasan TNI di Papua sering dijadikan alasan melakukan perlawanan, bahkan untuk berjuang merdeka oleh OPM. Apakah masih benar ada trauma Orba?

Soal trauma mungkin iya, mungkin tidak. Saya selalu berpikir dengan sisi mereka.

Namun saya selalu mematahkan dengan cara saya. Kalau saya bilang trauma, saya susah, sebab tidak berada pada posisi itu.

Saya lahir di Papua memang, tetapi umur 10 tahun pindah ke Jawa Timur, jadi tidak mengalami. Kita selalu belajar dari titik ini, ke titik itu. Nah saya selalu berhadap-hadapan dengan mereka yang berbeda pandangan.

Baca: PT EMM tak Kantongi IPPHK

Banyak sekali, yang sedikit ribet ya, mereka masih mengungkap latar belakang sejaraah.

Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat atau referendum, Red) itu seperti apa? Mereka selalu bilang kondisi masa lalu. Saya tidak bisa jawab soal itu. Kami tidak masuk di dalam sebuah poeriode waktu itu.

Biasanya sindrom seperti apa yang dibicarakan warga Papua terhadap masa lalu?

Kurang lebih pada kehidupan saja. Karena sindroma itu, siapa tahu ada persoalan zaman (Orba, Red) itu, masalah itu. Janji tinggal janji, misalnya. Mereka tidak memerlukan sebuah hasil yang signifikan untuk masyarakat lokal.

Sehingga mereka sering menghambat (investor/pengusaha) itu. Saya sering diminta, tapi saya serahkan ke pengambil keputusan, kalau bapak tidak pernah berbicara kepada mereka, pasti meraka meragukan.

Baca: Capella Diskon 10-50 Persen Service Sepmor

Karena itu, solusinya, datang lagi yang kedua kali. Kalau tidak mau juga mereka mengikuti arahan, datang lagi ketiga kali.

Nah ini jawaban yang dibutuhkan mereka. Pemimpin perlu yang bersimpati dan berempati pada mereka.

Selain di Nduga, di mana saja lagi basis kelompok bersenjata di Papua?

Mereka tersebar antara lain di Puncak Jaya ada, di Nduga ada, Lani Jaya dan lainnya.

Simpul mereka sekarang Goliat Tabuni. Sekarang membentuk kelompok-kelompok, memisahkan diri. Dugaan saya, kejadian di Nduga berkaitan dengan 1 Desember, 1 Desember menjadi hari ulang tahun Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM).

Mungkin mereka minta jatah tapi tidak dapat. Apalagi kalau ada yang ikut memanasi.

Baca: Aturan Baru BPJS - Ini Sanksi Bagi Setiap Keluarga yang tidak Mendaftarkan Bayinya Sejak Lahir

Adakah irisan kekerasan ini dengan kepetingan di PT Freeport?

Freeport ini kan mahkota ya. Ini sumber kekuasaan dan harta yang kita miliki. Kelompok ini, meminta hak mereka.

Dalilnya biasanya, ini hak adat kami. Kita tidak pernah tahu ini sejauh mana mereka mengeksploituasi di Papua.

Baca: Berikan Bantuan Sosial, Ini Pesan Wakil Ketua PKK Aceh untuk Masyarakat Aceh Besar

Jadi, mereka komplain. Ini masuk wilayah kami.Karena banyak berbatasan antara kabupaten karena pemekaran, ini menyulitkan juga untuk pemerintah juga. Ini mereka komplain dan meminta sebagai hak.

Kalau begitu, kelompok ini muncul untuk meminta jatah dari Freeport?

Kalau secara langsung tidak. Biasanya melalui monen-momen. Misalanya, inigin buat kampung. Atau ada perusahaan yang melintasi wilayah kampung itu, nah ini yang biasanya meminta hak di situ.

Kelompok bersenjata menyerang pekerja yang membangun Trans Papua yang dicanangkan Presiden Jokowi. Apa komentar atau imbauan kepada kelompok Egianus Kogoya dan kawan-kawan?

Kita lihat, kalau melintasi daerah papua sangat sulit. Ya masyarakat sulit berinteraksi dengan kita, memang sulit.

Membangun trans Papua harus didukung. Di sana saya liat beliau (presiden) dengan kebijakan BBM (bahan bakar minya) satu harga (harga di pulau Jawa sama dengan di Papua, Red) dan mleihat masyarakat kita yang terpencil itu.

Kita pikir harus dukung pembangunan Papua.

Mereka (kelompok kriminalisasi bersenjata, Red) berharap kalau memang ada investasi akan membawa sebuah keuntungan.

Mereka (KKB) meminta bagian lah. Pihak usaha, umunya sudah mengerti. Ya oke, anggap bagian dari CSR lah. Tetapi pemegang proyek Trans Papua, katanya hubungan biasa, baik kok.

Bagaimana cara menangani konflik dan kekerasan di Papua, selama anda menjabat dari Kapolres Mimikan, Direktur Reskrim, Wakapolda Papua, Kapolda Papua Barat hingga Kapolda papua dalam kurun waktu 14 tahun, dari 2003 sampai2017?

Sabar dan setia untuk mendampingi dan menjawab. Mereka tidak bisa kalau sekali dua kali. Beberapa penyelenggara negara, mengalami penghambatan.

Misalnya, datang investor, mereka (orang papua)  menanyakan pertanyaan yang sensitif. Siapa dia? Untuk apa dia? Bagi siapa ia? Mereka memiliki pengalaman masa lalu. Biasanya sindroma.

Pendekatan apa yang dilakukan saat terjadi perang suku?

Biasanya kita pisahkan. Kita jauhkan kedua pihak. Kita buat tarik ulur. Energi mereka juga kurangi. Lalu kita taruh anggota untuk pendekatan melalui bahasa dan mampu.(tribunnews/amryono prakoso)  

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Irjen Paulus Waterpauw: Kekerasan di Papua Terkait Trauma Orde Baru Hingga Freeport

Penulis: Amriyono Prakoso         

Editor: Hendra Gunawan

Berita Terkini