SERAMBINEWS.COM - Kampanye #BudayaBeberes yang diluncurkan restoran cepat saji KFC sejak Februari 2018 lalu menimbulkan reaksi pro dan kontra di media sosial.
Sejumlah warganet merasa keberatan harus membereskan sampah sisa makanannya sendiri saat akan meninggalkan restoran.
Baca: Gantikan Pekerjaan Ayahnya yang Sakit, Rino Sasaki Jalani Pekerjaan Sebagai Supir Truk
Hendra Yuniarto, General Manager Marketing KFC Indonesia yang dihubungi KompasTravel, Rabu (16/1/2019), menjelaskan bahwa kampanye #BudayaBeberes merupakan wujud kepedulian KFC Indonesia terhadap kelestarian lingkungan dengan cara mengedukasi konsumen akan pentingnya upaya pemilahan sampah.
Jika dibandingkan dengan KFC di luar negeri, memang banyak yang konsumennya sudah terbiasa membereskan sendiri sampah sisa bersantap mereka.
Baca: Pemerintah Desa Cot Rabo Tunong Gelar Pemeriksaan dan Pengobatan Gratis untuk Warganya
Hal ini didukung oleh kebiasaan mereka memilah sampah sejak di rumah.
"Oleh karena itu, kami berharap konsumen di Indonesia juga dapat menjadikan hal ini sebagai kebiasaan dan kami harapkan KFC Indonesia mampu menjadi pionir di restoran cepat saji yang menyebarkan ide positif untuk memulai kebiasaan seperti di luar negeri," kata Hendra.
Baca: Teknologi-teknologi yang Diramal Akan Berkembang di Tahun 2019
Hendra juga mengatakan, lewat kampanye #BudayaBerberes KFC berharap konsumen dapat memilah sampah dan membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.
Tidak hanya di KFC tetapi juga di restoran lain, bahkan di rumah sendiri.
Baca: Jalan Eks KKA Tertimbun Longsor, Kendaraan Masih Bisa Melintas
Budaya membuang sampah sisa makanan sendiri juga dilakukan di restoran cepat saji luar negeri lainnya.
Hal ini disampaikan oleh Associate Director of Communication McDonald 's Sutji Lantyka saat dihubungi KompasTravel, Jumat (18/1/2019).
"Kalau di McDonalds kami belum menerapkan itu (aturan membereskan makanan sendiri). Tapi sebetulnya kalau McDonald's di luar (negeri) itu sebenarnya sudah otomatis rata-rata konsumen itu sudah melakukan (beberes) sendiri dan itu sudah berlangsung lama juga," ujar Sutji.
Baca: Komunitas Kami Peduli Bireuen, akan Bedah Rumah Warga Miskin di Pulo Seuna
Menurut Sutji pihaknya belum rencana menerapkan aturan itu di gerai-gerai McDonald's yang ada indonesia seperti yang dilakukan oleh KFC.
Namun sebenarnya di gerai-gerai McDonald's telah tersedia tempat pembuangan sampah yang dapat digunaan pelanggan untuk membuang sampah bekas makanannya sebelum meninggalkan restoran.
"Jadi di setiap gerai kami sediakan tempat sampah yang di atasnya ada semacam mejanya begitu. Nah tempat sampah dapat digunaan untuk membuang sampah bekas makanan, kemudian nampan dapat diletkkan di meja yang terdapat di atas tempat sampah itu," paparnya.
Baca: Pegawai dan Warga Kedapatan Merokok di Kawasan KTR di Aceh Tengah, Rokok dan Asbak Disita
Menurutnya, tempat sampah pembuangan bekas makanan itu diletakkan di sejumlah titik di dalam sebuah gerai dengan tujuan agar pelanggan dapat dengan mudah membuang sampahnya.
Meski belum menerapkan aturan ini untuk pelanggan, lanjut Sutji, aturan membereskan sampah bekas makanan sendiri ini sudah dilakukan oleh para karyawannya.
"Di Indonesia kami memang belum menerapkan atau belum pernah ada aturan seperti itu (membuang sampah bekas makanan sendiri), tapi paling secara internal aja karyawan-karyawan McDonald's sudah mulaimenerapkan budaya membereskan makanannya sendiri saat makan di kantor maupun di restoran cepat saji," kata dia.
Baca: Pegawai dan Warga Kedapatan Merokok di Kawasan KTR di Aceh Tengah, Rokok dan Asbak Disita
Pendapat Psikolog
Terkait semua komentar pedas itu, mengapa ada orang yang seperti tidak sudi melakukan hal sederhana dan mengapa ada beberapa kalangan yang pro justru merasa dirinya lebih baik dibanding mereka yang tidak melakukannya?
Menjawab pertanyaan itu, Kompas.com menghubungi psikolog sosial Rizqy Amelia Zein. Setelah Amel melihat pro kontra yang terjadi di media sosial, hal tersebut mengindikasikan dua hal.
Baca: Abu Bakar Baasyir Bebas, Namun Ia Menolak Taat Pada Pancasila
"Yang pertama terlintas di kepala saya adalah soal empati," kata Amel dihubungi Kompas.com via telepon, Kamis (17/1/2019).
Empati berasal dari kata empatheia yang berarti ikut merasakan.
Dosen pengajar di Universitas Airlangga, Surabaya, itu menjelaskan, dalam psikologi konsep empati sebenarnya sudah muncul sebelum empati itu sendiri.
Tahapan pertamanya, apakah orang dapat mengenali emosi orang lain. "Jadi misalnya ada teman atau saudara sedang sedih, apakah saya bisa merasakan kesedihannya dan tahu bahwa ia sedang sedih, misalnya," jelasnya memberi contoh.
Baca: Abu Bakar Baasyir Bebas, Namun Ia Menolak Taat Pada Pancasila
Setelah mengenali emosi orang lain, tahapan selanjutnya manusia akan membayangkan apa yang akan dirasakan saat sedih.
"Setelah itu akan menjadi empati dan akan menjadi perilaku menolong," paparnya.
Berkaitan dengan pro kontra kampanye #BudayaBerberes yang digaungkan KFC, Amel melihat persoalan di sini sebenarnya sederhana, yakni mengapa kita harus membereskan makanan.
"Kalau saya lihat di (kolom) komentarnya, itu enggak salah juga. Memang orang datang ke sana untuk makan dan perusahan juga membayar cleaner. Sebenarnya diberesin atau enggak (oleh konsumen) juga akan tetap dibersihin cleaner, enggak salah juga," ucapnya.
Baca: Wabup Pidie Buka Muscab IDI, Dua Kandidat Perebutkan Kursi Ketua
"Ketika kita melakukan itu, seenggaknya kita dapat membantu orang yang melakukan pekerjaannya menjadi lebih mudah," imbuhnya.
Dengan banyaknya komentar yang menegaskan seseorang tidak mau melakukan hal sederhana, hal ini menunjukkan orang tersebut tidak bisa membayangkan bagaimana efeknya untuk orang lain bila melakukan sesuatu yang kecil dan sederhana.
Amel mengatakan, ada banyak penelitian yang menemukan bahwa mayoritas orang normal dan tidak memiliki gangguan kejiwaan juga memiliki kemampuan yang baik untuk mengenali emosi orang lain.
Lantas apakah yang membuat beberapa orang yang bisa merasakan emosi orang lain memilih untuk mengabaikannya?
Baca: Jalan Eks KKA Tertimbun Longsor, Kendaraan Masih Bisa Melintas
"Persoalannya adalah, jangan-jangan orang itu menolak untuk melakukan hal yang baik atau melakukan hal yang berkaitan dengan membantu kemudahan orang lain. Itu persoalannya bisa jadi pada diri mereka sendiri," jelasnya.
"Artinya mereka enggak bisa membayangkan kalau orang lain bakal senang ketika mereka melakukan sesuatu yang baik. Karena mereka (yang tidak mau melakukannya) bisa jadi dalam kondisi yang sedang tidak baik," ungkapnya.
Sedang ada di kondisi tidak baik bukan berarti sedang mengalami gangguan kepribadian.
Kondisi tidak baik yang dimaksud Amel adalah saat seseorang sedang mengalami depresi, kesusahan, stres, mood buruk, atau memiliki beban pikiran yang berat.
Baca: Hasil Semifinal Malaysia Masters 2019 - Singkirkan Goh/Tan, Marcus/Kevin Putuskan Asa Tuan Rumah
"Mereka tidak mungkin bisa mengubah orientasinya kepada orang lain. Bayangan mereka soal diri mereka sendiri, jadi enggak mungkin mereka bergerak kemana-mana, kecuali tentang dirinya sendiri," imbuhnya.
Sehingga, orang yang kontra terkait ajakan KFC Indonesia, Amel melihatnya mungkin ada indikasi mereka sedang memiliki masalah dengan dirinya sendiri sehingga tidak dapat memikirkan orang lain.
Baca: Antisipasi Banjir, Warga Kutacane Lama Bangun Tanggul Darurat
Mereka bukan hanya enggan membereskan sampah makanan sendiri. Amel melihat, kemungkinan besar orang-orang ini juga tidak akan mau membantu orang lain dalam berbagai hal.
Kemudian tentang mereka yang pro dan justru meremehkan orang lain, Amel melihat ini indikasi perilaku buruk juga.
Hal ini mungkin karena mereka sempat memiliki pengalaman tinggal di sebuah lingkungan yang menganggap kampanye seperti yang dilakukan KFC sangat biasa, kemudian di Indonesia ternyata muncul pro kontra.
"Ini yang kemudian mungkin membuat anggapan bahwa masyarakat Indonesia terbelakang," katanya.
Untuk itu, menurutnya orang yang pro tapi meremehkan dan menjelekkan mereka yang kontra, memiliki perilaku yang sama buruknya seperti orang yang enggan melakukan hal sederhana.
Bagaimana sebaiknya menanggapi hal ini?
Menurut Amel, edukasi semacam ini sebenarnya penting dan yang terjadi di sini adalah adanya dua kubu ekstrem.
"Tapi sebenarnya yang di antara keduanya kan masih banyak juga," ujarnya.
Ia sendiri mengapresiasi apa yang dilakukan KFC Indonesia.
Baca: Teknologi-teknologi yang Diramal Akan Berkembang di Tahun 2019
Amel berpendapat, nantinya akan ada dan banyak orang yang perilakunya berubah seiring dengan kampanye semacam ini digalakkan.
"Atau sederhananya ketika karyawan KFC melihat konsumen membereskan makanannya sendiri dan mengungkapkan terima kasih, reward positif semacam ini mungkin akan membuat konsumen merasa perilakunya dihargai dan ia akan merasa senang karena membuat orang lain menjadi senang. Ini akan membuat orang berpikir bahwa perilaku tersebut adalah yang benar dilakukan," tutupnya.
Artikel ini tayang pada Intisari Online dengan judul : Di Indonesia Dikritik Warganet, Budaya Beres Bekas Makanan Sendiri Sudah Biasa di Luar Negeri