Mengenal Konsep Diversi yang Membuat para Pengeroyok Audrey Bisa Bebas dari Kewajiban Jalani Hukuman

Editor: Fatimah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sebanyak tujuh siswi SMA yang terseret dalam kasus penganiayaan siswi SMP menyampaikan klarifikasi didampingi KPPAD Provinsi Kalbar di Mapolresta Pontianak, Jalan Johan Idrus, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (10/4/2019) sore. Mereka menyampaikan permintaan maaf kepada korban dan keluarga korban serta tidak mengakui telah melakukan pengeroyokan perkelahian dilakukan satu lawan satu.

Beberapa alasan perlunya restorative justice melalui mediasi penal misalnya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga: (1) mereka tidak ingin kasusnya sampai ke pengadilan (misalnya, karena akan malu), (2) mereka tidak melihat hukuman penjara merupakan jalan keluar, (3) mereka memerlukan hubungan berubah, (4) mereka menginginkan jalan keluar dari persoalan kekerasan rumah tangga.

Dari alasan yang menuntut adanya mediasi tersebut, tak diperlukan pola yang baku dalam mengupayakan mediasi penal. Indonesia bisa saja membuat prosedur berbeda dengan negara lain, misalnya mengambil nilai kearifan hukum lokal, seperti kearifan hukum lokal Papua, Aceh, dan lain sejenisnya.

Namun, yang harus dipedomani adalah adanya perlindungan bagi korban, prosedur-prosedur yang memberikan alternatif bagi upaya sukarela, pendekatan multiaspek, tersedianya dukungan pelayanan, sumber daya tenaga staf yang cukup, serta pelatihan dan pengawasan yang sungguh-sungguh.

Respons masyarakat pemangku kepentingan dan negara terhadap kejahatan merupakan prasyarat tegaknya keamanan, ketertiban, ketenteraman, dan keadilan.

Baca: Bintang Bulan Meriahkan Kampanye Akbar PA

Respons berupa tindakan hukum atau proses peradilan pidana formal maupun melalui mekanisme peradilan pidana informal merupakan tindakan hukum menghindari impunitas yang akan menjadi benih kejahatan dan lunturnya kewibawaan hukum.

Hilangnya daya imbau hukum akan menjadi faktor penyebaran kehendak individu untuk bertindak asosial dan ilegal. Dalam arti pula, hukum menjadi kehilangan nilai substantifnya sebagai otoritas netral yang sejatinya selalu dihormati oleh masyarakat dan negara.

Tindakan pemidanaan alternatif harus diupayakan oleh negara agar daya rekat persatuan berbangsa menjadi kokoh dan menjadi potensi pembangunan sosial-ekonomi dan politik negara.

Kepatutan penjatuhan pidana melalui restorative justice jadi tugas dan tanggung jawab penegak hukum untuk mempertajam analisis hukum dan memperpeka nurani kemanusiaan. Restorative justice akan menjadi lembaga yang dapat menjadi sarana pemerataan keadilan, terutama bagi korban dan pihak yang rentan secara sosial-politik dan lemah secara ekonomi.

Baca: Akhirnya, UAS Ungkapkan Mengapa Bertemu Prabowo dan Menceritakan Semuanya: Saya Takut Menyesal

KUHAP yang telah dipersiapkan oleh pemerintah harus dapat mengadopsi keberadaan restorative justice. Begitu pula tuntutan perkembangan masyarakat yang menuntut keberadaan negosiasi atas tuntutan (plea-bargain) dan peniup peluit (whistle blower) dalam sistem peradilan Indonesia.

Hal ini agar proses penegakan hukum di negara kita tidak tersendat, karena kurang cepat mengadopsi instrumen-instrumen hukum negara modern dan kurang peduli terhadap nilai-nilai kearifan lokal yang ternyata telah ada memberlakukan substansi restorative justice, tetapi dengan nama yang lain.

Pluralitas komponen bangsa dan kesenjangan sosial-ekonomi rakyat menuntut adanya penegakan hukum protektif bagi kelompok rentan.

Baca: Warga Beutong Ateuh Kepung Camp

Restorative justice akan dapat menjadi elemen menambal lubang kesenjangan keadilan yang diderita kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, dan ekonomi lemah yang berurusan dengan penegakan hukum.

Negara hukum yang otentik adalah negara yang rakyatnya memiliki keyakinan kolektif bahwa mereka akan diperlakukan secara adil oleh kedaulatan hukum.

Artikel ini tayang pada Intisari Online dengan judul : Mengenal Konsep Diversi yang Membuat para Pengeroyok Audrey Bisa Bebas dari Kewajiban Jalani Hukuman

Berita Terkini