Berita Subulussalam

Dewita Karya, Sosok Wanita Ketua Partai yang Bakal Jadi Pimpinan DPRK Subulussalam

Penulis: Khalidin
Editor: Yusmadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Dewita Karya, Anggota DPRK Subulussalam terpilih.

Laporan Khalidin | Subulussalam

SERAMBINEWS.COM, SUBULUSSALAM – Dewita Karya Munthe, nama ini mungkin belum terlalu popular di telinga masyarakat Kota Subulussalam meski sebenarnya wanita  berusia 33 tahun tersebut merupakan tokoh politik termuda di kalangan kaum hawa.

Bahkan, Dewita Karya juga dipastikan akan menjadi Pimpinan DPRK Subulussalam periode 2019-2024 yang pelantikannya dijadwalkan, Senin (19/8/2019) pekan depan.

Dalam perbincangan dengan Serambinews.com, Kamis (15/8/2019), Dewita yang juga istri Baginda Nasution, Sekretaris Bappeda Kota Subulussalam mengaku sudah terjun ke dunia politik sejak dia menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kala itu wanita sepuluh bersaudara tersebut masuk dalam Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) di pemilu 2009.

”Tapi waktu itu sebenarnya belum paham kali soal politik Cuma belajar-belajar,” kata Dewita Karya

Seiring waktu, perjalanan karier politik putri H Lukman Munthe alias Haji Uluk ini terus melejit hingga bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Subulussalam tahun 2010.

Baca: YARA: Dimana Prasasti Peresmian Pemko Subulussalam?

Baca: Anggota DPRK Subulussalam Segera Dilantik, Ini Wakil Rakyat Kota Sada Kata Masa ke Masa  

Baca: Dilantik Senin Depan, Anggota DPRK Subulussalam Didominasi Wajah Baru

Dewita masuk dalam jajaran pengurus teras partai berlambang matahari itu dengan jabatan bendahara periode 2010-2015.

Namun, saat pemilu 2014, Dewita harus menelan pil pahit karena gagal naik ke parlemen Subulussalam setelah kalah belasan suara dari rekannya.

Kalah di pemilu, Dewita berhasil meraih jabatan Ketua PAN Kota Subulussalam periode 2015-2020 dimana usianya baru 29.

Dalam usia yang terbilang masih muda ini, Dewi membuktikan mampu menjadi puncak pimpinan partai nasional.

Bahkan, Dewi satu-satunya kaum hawa yang tercatat menjadi ketua partai baik lokal maupun nasional di Kota Subulussalam bahkan mungkin di Aceh.

Baca: Anggota DPRK Subulussalam Dilantik Senin Depan, Ini Sosok Calon Ketua

Baca: Cegat Wali Kota Subulussalam, Puluhan Pemuda Sultan Daulat Nyatakan Mendukung PLTA Lae Souraya

Baca: Diduga Chat Mesum dengan Istri Anggota DPRK, Ketua Panwaslih Subulussalam tak Hanya Ditangkap Polisi

Nah, meski posisinya sebagai wanita bukan berarti lemah dalam kepemimpinan apalagi partai nasional.

Pilkada 2018 lalu, PAN di bawah pimpinan Dewi mengusung pasangan H Affan Alfian Bintang/Salmaza sebagai calon Wali Kota/Wakil Wali Kota Subulussalam dan berhasil memenangkan pertarungan tersebut.

Tak hanya itu, ibu satu putra ini pun terus memperkuat barisan menghadapi pemilu 17 April 2019 lalu hingga partainya mampu meraih tiga dari 20 kursi di legislatif.

Secara pribadi, alumnia STIE Medan ini  berhasil meraup suara terbanyak di dapilnya.

Kini, Srikandi partai besutan Amien Rais ini bakal duduk di DPRK Subulussalam bahkan menjadi salah satu unsur pimpinan lembaga perwakilan rakyat tersebut.

Ditanya setelah dilantik menjadi wakil rakyat, Dewi berjanji ke depan akan mengawal segala kebijakan dan program yang dilaksanakan pemerintah setempat untuk pro terhadap kesetaraan gender.

Baca: Ketiga Sepeda Motor Tabrakan di Peusangan Bireuen Tanpa Plat Nopol

Baca: 14 Tahun Damai Aceh, Forkab Aceh Barat Adakan Doa

Baca: UEFA Umumkan Tiga Kandidat Pemain Terbaik Eropa, Cristiano Ronaldo, Lionel Messi dan Virgil Van Dijk

Menurut Dewi, Subulussalam sebenarnya telah memiliki qanun soal pengarusutamaan gender nomor 21 tahun 2010.

Namun menurutnya hal ini perlu didorong agar bisa diimplementasikan lagi.

Padahal, kata Dewi, dulu  di tahun 2012, perempuan di Kota Subulussalam dilibatkan dalam kegiatan perencanaan program melalui Musyawarah Rencana Aksi Perempuan (Musrena).

”Sayangnya kegiatan itu hanya sekali setelahnya nyaris tak pernah ada, ini sangat miris padahal qanun pengarusutamaan gender telah ada,” ujar Dewi.

Perencanaan dan penganggaran responsif gender merupakan instrumen untuk mengatasi adanya kesenjangan akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat pembangunan bagi laki-laki dan perempuan yang selama ini masih ada, untuk mewujudkan keadilan dalam penerimaan manfaat pembangunan.

“Oleh karena itu, proses perencanaan dan penganggaran harus responsif gender,”ujar Dewi

Karenanya, Dewi meminta komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Sebab, selama ini pengambil keputusan seringkali tidak menyadari bahwa keputusan/kebijakan bersifat netral gender.

Artinya, lanjut Dewi, hanya memperhatikan sudut pandang tugas dan fungsi dari sebuah instansi atau prioritas nasional tanpa melihat adanya kelompok yang terlibat dan pengguna manfaat (kelompok sasaran) yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Dewi juga menyampaikan program responsif gender yang berusaha mengakomodasi keadilan bagi perempuan dan laki-laki.

Begitu pula dalam memperoleh akses, manfaat, berpartisipasi dalam mengambil keputusan dan mengontrol sumber-sumber daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan peluang dalam menikmati hasil pembangunan.

Baca: Pemerintah Aceh Minta Polisi Usut ‘Dendeng Babi Cap Kelinci Aguan’

Baca: 5.000 Ha Tanah Diusul untuk Korban Konflik, BPN: Saat Ini Sedang Proses Aceh Utara dan Aceh Timur

Baca: Sang Ayah Larang Dinar Candy Pacaran dengan Bule, Haji Acep Ingin Jodoh Putrinya seperti Ustaz

Dewi mencontohkan pembangunan fasilitas publik yang sejatinya memperhatikan kebutuhan perempuan.

Misalnya di kantor pemerintahan atau fasilitas publik harus menyediakan sarana untuk wanita hamil, menyusui dan lainnya.

“Ini bagian dari contoh, masih banyak lagi program pro gender yang perlu didorong untuk dilaksanakan termasuk soal bencana dan sosial karena dalam bencana dan sosial perempuan kerap menjadi objek,” pungkas Dewi.

Sebenarnya, kata Dewi kebijakan pro gender sudah dibuat sejak pemerintahan daerah ini.

Hal itu dibuktikan dengan pembangunan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA).

Pembangunan RSIA yang kini jadi RSUD ini berangkat dari keperihatinan terhadap kondisi kaum ibu yang dulu kerap meregang nyawa saat bersalin lantaran tidak adanya sarana RS di sana.

“Nah RSIA ini bagian dari contoh pembangunan yang responsif gender, ini luar biasa, sebenarnya masih ada juga program lain seperti akses jalan dan poskesdes setiap desa yakni memberikan akses cepat ke kaum perempuan dan dan dalam pelayanan kesehatan,” pungkas Dewita. (*)

Berita Terkini