Laporan Khalidin | Subulussalam
SERAMBINEWS.COM, SUBULUSSALAM – Hari Jadi Subulussalam yang selama satu dekade ini degear setiap tanggal 14 September kini menuai kontroversi hingga menjadi bahan perbincangan hangat masyarakat setempat.
Adalah H Asmauddin, SE Pj Wali Kota Subulussalam perdana ikut mempertanyakan keabsahan tanggal Hari Jadi Subulussalam sebagaimana diungkapkan kepada Serambinews.com, Kamis (29/8/2019).
Asmauddin menyoal hari jadi Subulussalam yang digelar saban tahun ini dengan alasan agar tidak terjadi pelencengan sejarah.
Sebab, kata Asmauddin, kalau hari jadi Subulussalam ini berlandaskan history dan Yuridis kunjungan kerja Gubernur Dista Aceh ke Kecamatan Simpang Kiri 14 September 1962 lalu juga tetap dinilai keliru.
"Bahwa ibukota Kecamatan Simpang Kiri yang baru dalam kewedanaan Singkil dati II Aceh Selatan yaitu "Kota Subulussalam", bukan Subulussalam,” tulis Asmauddin dalam percakapan dengan wartawan via pesan Whatsapp
Mantan Ketua Panitia Pemekaran Kota Subulussalam ini pun membuktikan sejumlah argumennya dengan data akurat salah satunya Surat Penetapan ibukota Kecamatan Simpang Kiri menjadi Kota Subulussalam.
Surat yang ditandatangani Gubernur Aceh Prof Ali hasyimi itu dibuat dengan tulisan tangan pada kertas berlogo ‘Pancacita’ dan dibubuhi setempat resmi (kopiannya ad apada Serambinews.com).
Surat ini dibuat pada tangga 14 September 1962 pukul 15.00 WSU. Berikut isi surat penetapan Kota Subulussalam 57 tahun silam.
Surat Penetapan
No Istimewa/1962
Kami Gubenur/Kepala Daerah Istimewa Atjeh dengan ini menetapkan :
Bahwa Ibukota Kecamatan Simpang Kiri yang baru dalam kewedanaan Singkel, Darah TK II Atjeh Selatan, iaitu :
KOTA SUBULUSSALAM
Ditetapkan tanggal : 14 September 1962
Pada Djam : 15. 00 WSU
Gubernur/Kep. Daerah Istimewa
Atjeh
A Hasyimi
Dibagian sudut kiri surat tertulis pertinggal dan kini di bagian bawah sudah dibubuhi sejumlah kalimat tanda terima dan sumber surat yang diarsipkan ini.
Menilik data tersebut, Asmauddin, menyimpulkan jika tanggal 14 September yang menjadi acuan hari jadi Subulusalam dan diperingati setiap tahun merujuk Surat Penetapan Gubernur Kdh. Istimewa Aceh Nomor : Istimewa/1962, tanggal 14 September 1962, agak rancu alias melenceng.
Sebab, kata Asmauddin dalam penetapan Gubernur Dista Aceh tersebut dengan terang benderang ditulis "Bahwa ibukota Kecamatan Simpang Kiri yang baru dalam kewedanaan Singkil dati II Aceh Selatan yaitu "Kota Subulussalam", bukan Subulussalam.
Sementara yang digelar selama ini Subulussalam tanpa kata ‘kota’.
”Padahal kalau merujuk 14 September harusnya pakai kota, artinya jauh Subulussalam sebelum mekar menjadi pemerintah namanya sudah jadi Kota. Ini salah satu bukti bahwa gubernur kita dahulu orang visioner, jauh sebelum lahir Pemko Subulussalam (UU NO. 8/2007) sudah ditetapkan Ibukota Kec. Sp. Kiri yang baru yaitu "Kota Subulussalam," ungkap Asmauddin.
Baca: Hari Jadi Subulussalam Dipersoalkan, Antara 15 Juni dan 14 September
Baca: Penetapan Hari Jadi Subulussalam Dipersoalkan, 15 Juni Atau 14 September
Baca: Menjajal Arung Jeram Lae Kombih, Obyek Wisata Alam di Subulussalam
Ditambahkan, jika14 September yang ditetapkan dan diperingati sebagai hari jadi Kota Subulussalam, maka hilang lah sejarah Rundeng sebagai Ibukota Kec. Simpang Kiri yang pertama.
Pernyataan Asmauddin ini sebenarnya cukup mendasar lantaran dia merupakan mantan Ketua Panitia Pemekaran Kota Subulussalam dan Pj wali kita perdana.
Asmauddin sendiri semasa pemerintahannya menggelar syukuran perdana Hari Jadi Kota Subulussalam 15 Juni bertepatan peresmiannya menjadi kepala daerah 2007 lalu dan jika diurut sekarang merupakan ke 12 tahun.
Seperti berita sebelumnya, selain Asmauddin ‘penolakan’ tanggal hari jadi Subulussalam juga dikemukakan Drs Salbunis mantan Plh Sekda Kota Subulussalam.
Dia menjelaskan jika hari jadi subulussalam tanggal 14 September ditetapkan oleh camat Simpang Kiri yang kala itu Rusdi Hasan.
Penetapan ini berdasarkan hasil musyawarah muspika dengan tokoh-tokoh masyarakat Simpang Kiri.
Tanggal ini kata Salbunis dipilih atas dasar kala itu adanya kunjungan Gubernur Aceh Prof Ali Hasmi yang dalam pidatonya merubah nama Bandar Baru menjadi Subulussalam
Sementara Maskur, tokoh agama Subulussam menimpali jika penetapan 14 September sebagai Hari Jadi Subulussalam diambil dalam seminar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orda Kota Subulussalam 2010, atau tiga tahun setelah dimekarkan dari kabupaten induk, Aceh Singkil, tepatnya 2 Januari 2007.
Keputusan itu, lanjut Maskur dicapai setelah menerima masukan dan saran dari tokoh masyarakat setempat.
Nah, karena mengacu dengan qanun ini maka hari jadi Subulussalam 2019 merupakan ke 57 tahun.
Berbagai pendapat terus mengemuka termasuk pegiat Budaya Suku Singkil, Mulyadi Kombih.
Menurutnya, Hari Jadi Subulussalam jika berdasarkan pertimbangan fakta historissama seperti umumnya kota-kota lain di Indonesia.
Namun jika ditetapkan berdasarkan fakta yuridis maka ultah yang tepat adalah setiap tanggal 2 Januari atau bisa juga setiap 15 Juni.
Penyusun kamus Bahasa Singkil inu juga mempertanyakan apakah tanggal 14 September 1962 dimana Prof Ali Hasjmi menabalken gelar Subulussalam sudah tepat.
Menyangkut hal ini, Serambinews.com mencoba menelusuri dengan mengkonfirmasi ke Salbunis yang kini Inspektur Inspektorat Subulussalam.
Salbunis yang juga mantan Camat Simpang Kiri mengatakan hari jadi Sunulussalam pernah diperingati jauh sebelum Kota Subulussalam lahir.
Kala itu, kata Salbunis dia merupakan salah satu stat kantor Camat Simpang Kiri.
Dia pun menilai jika hari jadi Subulussakam yang sebentar lagi akan dihelat tak tepat.
Sebenarnya, kata Salbunis selama ini banyak dipertanyakan tokoh dan pelaku-pemekaran alias pejuang Pemko Subulussalam namun tidam direspon penikmat pemekaran.
Soal tanggal hari jadi telah diseminarkan, Salbunis menilai juga salah. Menurutnya, seminar perlu dilakukan jika belum jelas pertanggalannya.
Dia mencontohkan kapan waktunya kepindahan ibukota Simpang Kiri dari Rundeng ke Simpang Empat (nama Subulussalam sebelumnya).
Salbunis juga menyoak hilangnya nama para pejuang pemko akibat ego petinggi Pemko Subulussalam.
Sejumlah pihak sepakat jika qanun tentang Hari Jadi Subulussalam setiap 14 September direvisi.
Hal ini agar ke depan tidak lagi terjadi dakwa-dakwi.
”Yang tak kalah penting, menertibkan kembali penggunaan lambang Pemko Subulussalam karena saat ini terjadi perbedaan,” pungkas Mulyadi.
Sebenarnya, selain persoalan hari jadi, sampai saat ini Subulussalam juga kehilangan benda bersejarah yakni prasasti peresmiannya.
Seperti diberitakan beberapa hari lalu, Pemekaran Kota Subulussalam dari Kabupaten Aceh Singkil kini sudah berusia ke 12 tahun terhitung 2 Januari 2007.
Namun, meski sudah lebih satu dekade mekar, prasasti peresmian Pemerintah Kota Subulussalam yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri ad interim Widodo AS atas nama Presiden Republik Indonesia hingga ini tak pernah terlihat wujudnya.
Baca: Pria Ini Bawa 3 dari 4 Istri saat Dilantik Jadi Anggota Dewan Periode 2019-2024, Sudah Punya 12 Anak
Baca: Bupati Akmal Ibrahim Bentangkan karpet Merah kepada Ikatan Saudagar Muslim Indonesia
Baca: Ilham Akbar Habibie, ISMI Siap Ambil Bagian di Kawasan Industri Surin
Persoalan di mana keberadaan prasasti peresmian Pemko Subulussalam dikemukakan Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Kota Subulussalam, Edi Saputra Bako kepada Serambinews.com, Kamis (15/8/2019).
Hal ini dipertanyakan lantaran prasasti itu menurut Edi tak pernah diketahui masyarakat setempat. Ini lantaran prasasti yang ditandatangani di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Jumat 15 Juni 2007 silam tersebut tidak pernah dipajang di Kota Sada Kata itu.
”Yang jadi pertanyaan kemana prasasti itu sekarang, padahal ini bagian dari sejarah Kota Subulussalam,” kata Edi
Berdasarkan catatan Serambinews.com, masalah prasasti ini pernah terkuak setelah fotonya beredar di akun pengguna facebook di Subulussalam 2015 silam.
Kala itu, prasasti peresmian Kota Subulussalam di akun Salbunis Kombih Inspektur Inspektorat Kota Subulussalam.
Ketika dikonfirmasi wartawan, Minggu (27/9/2015), Salbunis mengaku juga kalau foto prasasti peresmian Kota Subulussalam itu juga dia dapatkan dari seseorang yang mengirim kepadanya.
Salbunis mengakui, prasasti itu memang ada dan ikut menyaksikan penandatangannya.
Salbunis yang juga mantan plh.Sekda Kota Subulussalam menjelaskan, penandatanganan prasasti Kota Subulussalam disaksikan puluhan pejabat dan tokoh Kota Sada Kata itu termasuk Bupati Aceh Singkil, Almarhum H.Makmursyah Putra, SH.
Penandatanganan prasasti dilakukan usai Menteri Dalam Negeri Ad interim Widodo AS menekan tombol selubung peta dua kabupaten Pidie Jaya dan Kota Subulussalam yang diresmikan bersamaan kala itu.
”Saya juga hadir menyaksikan tapi tidak tau dimana prasasti ini, sangat disayangkan karena bukti sejarah lahirnya Pemko Subulussalam,” ujar Salbunis.
Kini, masalah prasasti yang merupakan bagian penting sejarah pemekaran Pemko Subulussalam kembali dipertanyakan masyarakat mengingat usia Kota Sada Kata itu sudah 12 tahun tidak satupun masyarakat yang melihat bentuk prasasti tersebut.
”Saya sendiri tidak pernah melihat prasasti itu, padahal ini bukti sejarah bagi rakyat Kota Subulussalam,” kata Edi
Edi menambahka, saat ini mungkin prasasti ini masih dianggap sepele tapi bagi rakyat Kota Subulussalam merupakan kebanggaan dan catatan sejarah.
Seharusnya, lanjut Edi, prasasti tersebut dipajang di kantor wali kota sehingga masyarakat bisa melihat dengan mudah.
“Pemko Subulussalam wajib melacak dimana prasasti terkait berada agar tidak hilang begitu saja,” harap Edi. (*)