"Kita banding dan sudah kita sampaikan ke pengadilan. Putusan hakim itu tidak cermat dalam kasus ini," tukas Abdullah Puteh.
Laporan Fikar W Eda | Jakarta
SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Abdullah Puteh telah mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menghukum dirinya dengan pidana 1,6 tahun penjara.
"Kita banding dan sudah kita sampaikan ke pengadilan. Putusan hakim itu tidak cermat dalam kasus ini," tukas Abdullah Puteh menjawab Serambinews.com, di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Mantan Gubernur Aceh yang kini terpilih sebagai Calon Anggota DPD RI dari Provinsi Aceh itu, menyatakan akan melawan putusan pengadilan tersebut sampai titik akhir.
"Masa saya dikatakan menipu yang nilainya disebutkan Rp 350 juta. Yang benar aja," kata Abdullah Puteh enteng.
Baca: Ucapan Selamat dari Keluarga Besar Sekretariat DPRK Banda Aceh
Terkait dengan proses pelantikan dirinya sebagai senator dari Aceh, Abdullah Puteh mengatakan, kasus yang dihadapinya tidak akan menghambat pelantikan.
Sebab, menurut tata tertib DPD RI, bahwa seorang calon anggota DPD dianggap bermasalah apabila tersandung kasus hukum yang ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara, dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau 'incraht'.
"Tidak ada persoalan dengan pelantikan Anggota DPD. Sebab persoalan ini belum memiliki kekuatan hukum tetap dan ancaman hukumannya adalah 3,8 tahun penjara," ujar Puteh.
Ia minta kepada konstituennya di Aceh tidak resah, atas persoalan hukum yang sedang dihadapinya itu.
Perjanjian Kerja
Baca: Dekranasda Aceh Raih Penghargaan Pembina Teladan Dekranas Awards 2019 di Jakarta
Abdullah Puteh menjelaskan, bahwa saksi Hari Laksmono (HL) yang melaporkan dirinya secara pidana, adalah orang yang dikalahkannya di pengadilan perdata mulai dari pengadilan banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
"Dulu kita melaporkan yang bersangkutan secara perdata karena melanggar perjanjian kerjasama dengan perusahaan PT Woyla Abadi yang saya dirikan. Sampai ke tingkat peninjauan kembali kita menang," ujar Abdullah Puteh dan menguraikan secara kronologis pelanggaran perjanjian yang dilakukan HL.
"Saya sampaikan bahwa kasus ini tidak menyangkut negara. Ini berawal dari perjanjian kerjasama antara PT Woyla Abadi dengan kontraktor HL yang mengerjakan pekerjaan di perusahaan saya," ujar Abdullah Puteh.
Ia membantah HL sebagai investor, tapi kontraktor yang minta pekerjaan kepada dirinya.
"Di pengadilan, oleh jaksa disebutkan saya yang merayu HL untuk berinvestasi, itu sama sekali tidak benar. Sebab kenyataannya HL yang aktif menghubungi saya, termasuk membayarkan akomodasi hotel," tukas Puteh.
Baca: Eks Kombatan di Abdya Minta Kejelasan Soal Lahan, Begini Penjelasan Mantan Jubir GAM Blangpidie
Perjanjian antara PT Woyla dan HL diikat dalam akta perjanjian dengan 29 pasal.
"Perjanjian itu yang dia dilanggar dan kita gugat ke pengadilan. Di antara perjanjian yang dilanggar itu adalah HL seharusnya membayar uang muka Rp 3 miliar dan menyetorkan royalti fee kepada saya tiap bulan. Tapi nyatanya itu tidak dipenuhi," urai Puteh.
Puteh lalu menggugat HL ke pengadilan dan mengharuskan membayar uang muka kerjasama sebesar Rp 7 miliar.
"Memang di pengadilan, kita kalah, tapi kemudian kita banding, dan kita menang. Begitu juga saat kasasi, kita juga menang, sampai ke Peninjauan Kembali, kita juga menang. Jadi sebetulnya kasus ini sudah selesai," beber Abdullah Puteh.
Tapi entah kenapa, lanjut Puteh, kasus ini dilaporkan secara pidana dengan tuduhan penipuan yang kemudian diputuskan oleh PN Jakarta Selatan.
"Seharusnya kasus ini tidak bisa diadili lagi sebab sudah incracht sebelumnya. Tapi saya tidak tahu, kenapa jadi bisa diadili juga," imbuh Puteh.
Baca: Dinkes Nagan Raya Temukan 7 Penderita Kusta
"Rp 350 Juta"
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kartim Haeruddin, Selasa (10/9/2019) menjatuhkan vonis 1,6 tahun penjara kepada Abdullah Puteh dan membayar biaya perkara Rp 5000.
Putusan tersebut jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa, yaitu selama 3 tahun 10 bulan dengan perintah supaya terdakwa ditahan.
Abdullah Puteh didakwa melakukan penggelapan uang senilai Rp 350 juta, dari seorang yang oleh jaksa disebut investor, bernama Herry Laksmono.
Baca: Begini Cara Kapolres Langsa dan Dandim Aceh Timur Bersilaturahmi dengan Pemuda Papua
Menurut Jaksa, Lumumba Tambunan, uang Rp 350 juta tersebut diperoleh dari sisa dana pengurusan dokumen AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) yang dianggarkan Rp 750 juta oleh Herry.
Disebutkan, sementara dana pengurusan dokumen lingkungan hanya sekitar Rp 400 juta.
"Sisanya sekitar Rp 350 juta tanpa hak dimiliki secara pribadi oleh terdakwa, dan atas perbuatannya terdakwa (Abdullah Puteh) merugikan saksi (Herry Laksmono), terdakwa diancam pidana Pasal 372 KUHP," kata penuntut umum dalam persidangan.
Menurut jaksa, penggelapan bermula dari perjanjian investasi antara Abdullah Puteh melalui perusahaannya PT Woyla Raya Abadi dan Herry Laksmono untuk memanfaatkan hasil hutan kayu di Kalimantan Tengah. (*)
Baca: Pemkab Aceh Jaya dan Kejari Buat Nota Kesempahaman Terkait Dana Desa