SERAMBINEWS.COM - Fenomena tanah bergerak yang terjadi di Aceh Besar, tepatnya di Gampong Lamkleng Kecamatan Cot Glie makin menjadi.
Sejak Minggu 10 Januari 2021 hingga hari ke-11, Kamis (21/1/2021), tanah bergerak di kawasan tersebut masih saja aktif hingga membentuk rekahan yang semakin meluas.
Terkini, permukaan tanah di kawasan Gampong Lamkleng Kecamatan Kuta Cot Glie ada yang sudah turun hingga mencapai 3,5 meter.
Rekahan yang terbentuk pun semakin panjang dan melebar, hingga memakan setengah badan aspal jalan.
Kondisi semakin diperparah setelah wilayah Aceh Besar dan sekitarnya dilanda hujan deras beberapa hari terakhir.
Imbasnya, sejumlah pohon bertumbangan dan kuburan menjadi rusak akibat fenomena tanah bergerak.
Sejumlah pengujian dan penelitian sudah dilakukan oleh tim yang bersangkutan sejak kehebohan ifenomena tanah bergerak ini mencuat ke publik.
Beberapa pendapat juga sudah dilontarkan, berdasarkan hasil survei dan pengamatan yang dilakukan di lapangan.
Baca juga: Lamkleng Berpotensi Longsor Besar, Dampak Tanah Bergerak
Baca juga: Tenda Pengungsi di Lokasi Tanah Bergerak Gampong Lamkleng Sering Diterbangkan Angin
Namun, meski kondisi permukaan tanah di wilayah tersebut semakin parah, penyebabnya masih saja menjadi misteri.
Berikut ini telah kami rangkum kronologi serta fakta fenomena tanah bergerak yang terjadi di Gampong Lamkleng Kecamatan Cot Glie Aceh Besar.
Kronologi Tanah Bergerak di Aceh Besar
1. Rekahan awal 10 hingga 40 cm
Pada Selasa 12/1/2021, masayarakat di Gampong Lamkleng, Kecamatan Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar dihebohkan dengan fenomena tanah bergerak.
Namun, fenomena ini sebenarnya sudah terjadi sejak Minggu, 10 Januari 2020.
Laporan wartawan Serambinews.com, Asnawi Luwi yang memantau lokasi kejadian, berdasarkan keterangan warga setempat, rekahan awal yang terbentuk akibat pergerakan tanah itu membentuk rekahan antara 10 hingga 40 cm.
Dalam perkembangan selanjutnya, sebuah rumah di sekitar rekahan tanah terancam ambruk.
2. Tanah semakin aktif bergerak, warga mengungsi ke tenda
Setelah mendapat laporan adanya fenomena tanah bergerak yang terjadi di Gampong Lamkleng Kecamatan Cot Glie, sejumlah pihak terkait turun ke lapangan untuk melakukan survei.
Termasuk Ketua Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala (MIK USK), Dr Nazli Ismail, yang turun di lokasi kejadian pada Rabu 12 januari 2021.
Sebagaimana diberitakan Serambinews.com, menurut keterangannya, kondisi tanah di lokasi kejadian terus aktif bergerak ke arah sungai yang berada di sekitar wilayah tersebut, yakni Krueng Aceh.
Di hari kunjungannya, rekahan tanah yang terbentuk bertambah, dari yang semula turun 40 cm menjadi 70 cm.
Pada hari yang sama, sebanyak 14 Kepala Keluarga (KK) di lokasi kejadian mengungsi ke tenda.
Pasalnya, rumah mereka yang berada di lintasan tanah bergerak ke pinggiran Krueng Aceh, akibat hujan deras yang terjadi semalamnya.
Jarak rumah warga tersebut dengan pinggiran Krueng Aceh sekitar 150-200 meter.
Akibat pergerakan tanah rumah warga dibuat retak.
Pada hari ketiga, Kamis 13 Januari 2021, tanah turun hingga mencapai 1,5 meter.
Di sekitar lokasi tanah tanah yang bergerak ini sudah dipasang polisi line agar tidak ada lagi yang melintas di kawasan tersebut.
Baca juga: Longsor Besar Semakin Berpotensi Terjadi di Lamkleng Kuta Cot Glie Aceh Besar, Dampak Tanah Bergerak
Baca juga: Tim USK Mulai Uji di Laboratorium Kondisi Tanah Bergerak di Lamkleng, Pohon Tumbang & Kuburan Rusak
3. Tanah semakin amblas, hingga kedalaman 2 meter
Hingga hari keenam sejak terjadinya fenomena tanah bergerak, permukaan tanah di kawasan tersebut semakin terlihat membahayakan.
Sebagaimana diberitakan Serambinews.com, hingga Sabtu 16 Januari 2021, kedalaman tanah yang amblas ini sudah mencapai 2 meter dengan panjang sekitar 300 meter dan lebar 200 meter.
Hingga hari kesembilan, Selasa 19 Januari 2021, imbas akibat tanah bergerak di Gampong Lamkleng Kecamatan Cot Glie semakin parah.
Selain rekahan yang semakin meluas serta kedalamannya melampaui kepala orang dewasa, sejumlah pepohonan di desa itu mulai condong atau miring ke arah tebing sungai.
Beberapa makam tua pun mulai retak betonnya.
Ada juga yang batu nisannya terguling dari posisi semula.
Beberapa rumah permanen di blok longsoran juga semakin menonjolkan kerusakan.
Yaitu mengalami retak pada lantai maupun dindingnya, mengikuti alur tanah longsor di samping ataupun di belakang rumah tersebut.
Jalan aspal di desa itu pun ikut rontok bagian pinggirnya yang searah dengan blok longsoran.
4. Tanah anjlok hingga 3,5 meter
Pergerakan tanah yang tersu terjadi secara perlahan membuat permukaannya turun dengan ukuran yang bervariasi.
Hingga Rabu 20 Januari 2021, laporan wartawan Serambinews.com Asnawi Luwi berdasarkan pantauan di lokasi kejadian, pergerakan tanah mengakibatkan permukaannya anjlok 2 hingga 3,5 meter.
Kondisi tanah bergerak ini semakin parah karena hujan deras yang mengguyur kawasan tersebut.
Menurut penuturan seorang warga, Fakhrizal, hujan deras yang mengguyur Desa Lamkleng mulai sekitar pukul 20:00 WIB hingga menjelang subuh.
"Kejadiannya sekitar jam 3 lebih hampir subuh, hujan deras mulai habis Isya sampai pagi. Masyarakat lagi di rumah pada saat itu, lagi panik semua," ujar Fakhrizal kepada Serambinews.com.
Banyak kuburan di Desa Lamkleng menjadi rusak imbas dari tanah bergerak ini.
Di sisi lain, pondasi jembatan gantung di Gampong Lamkleng yang menghubungkan ke Gampong Tutui, Kecamatan Kuta Cot Glie, Aceh Besar juga ambruk.
Hal ini diakibatkan meluapnya air dari sungai Krueng Aceh.
Kondisi itu dikhawatirkan bakal mengancam jembatan sepanjang 120 meter tersebut.
Baca juga: Tanah Bergerak di Lamkleng Semakin Aktif, Pohon Bertumbangan hingga Kuburan Rusak
Baca juga: Dapur Umum belum Tersedia untuk Pengungsi Tanah Bergerak Lamkleng
Fakta Seputar Tanah Bergerak di Aceh Besar
1. Bukan Baru kali ini terjadi
Meski fenomena tanah bergerak yang terjadi di Desa Lamkleng Kecamatan Cot Glie Kabupaten Aceh Besar baru menghebohkan warga pada Selasa 12 Januari 2021, namun peristiwa itu bukan baru ini terjadi.
Diberitakan Serambinews.com, menurut hasil pengamatan Dr Nazli Ismail, Ketua Program Studi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala (MIK USK), fenomena tanah bergerak ke arah sungai di desa ini sebetulnya bukanlah fenomena baru.
Dulu pun hal serupa terjadi di Gampong Lamkleng.
Beberapa bekasnya ditemukan Nazli saat menyusuri daerah aliran sungai (DAS) di desa tersebut pada Rabu 12 Januari 2021, ketika melakukan survei di kawasan tersebut.
Cuma, seperti dikatakan Nazli, dulu tanah tersebut bergerak dan menyebabkan rekahan di lokasi yang tak berpenduduk.
Misalnya, di kebun warga atau di padang gembala sehingga tak langsung menimbulkan reaksi bahkan kepanikan warga.
"Nah, karena sekarang terjadinya di permukiman penduduk, maka warga langsung bereaksi dan jadi heboh. Apalagi sudah diekspose di media," kata mantan wartawan Harian Serambi Indonesia ini.
2. Warga tinggalkan rumah dan mengungsi
Pergerakan tanah yang kian hari semakin buruk membuat beberapa warga di lokasi kejadian terpaksa harus meninggalkan rumah dan mengungsi di tenda, karena terancam ambruk.
Fotografer Harian Serambi Indonesia, Hendri pada Senin 18 Januari 2021, mengabadikan beberapa potret kondisi pengungsian warga Gampong Lamkleng Kecamatan Cot Glie.
Tampak beberapa tenda darurat dipasang di sekitaran rumah warga.
Kondisi di dalam tenda juga seadanya dan tampak lapang, hanya berisi barang-barang penting seperti peralatan makanan.
Untuk diketahui, Gampong Lamkleng memiliki 90 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah penduduk mencapai 285 orang.
Sedikitnya 18 KK saat ini telah terdampak fenomena alam tersebut,
Berdasarkan data yang dihimpun Serambinews.com, jumlah rumah terkena imbas telah mencapai 14 rumah yang dihuni oleh 71 orang.
Terkini, area lokasi tanah bergerak sudah diberi police line agar tidak ada warga yang melintasi lagi area berbahaya tersebut.
3. Penyebab tanah bergerak
Sejauh ini, sejumlah tim pengamat yang melakukan survei masih terus berusaha membuka misteri penyebab fenomena tanah bergerak yang terjadi di gampong Lamkleng.
Pada Senin 18 Januari 2021, Bupati Aceh Besar, Ir Mawardi Ali telah mengundang sejumlah pihak terkait dalam rapat koordinasi (rakor) di Gedung Dekranasda Aceh Besar.
Ada tiga pihak sebagai narasumber yang diundang untuk membahas penyebab dan penanganan kejadian bencana tanah longsor di Gampong Lamkleng.
Pihak yang diundang adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Besar untuk melaporkan secara kronologis dan detail fenomena tanah bergerak tersebut.
Pihak kedua ialah tim Universitas Syiah Kuala (USK). Tim ini diminta Bupati Aceh Besar untuk mempresentasikan kejadian dan upaya mitigasi bencana tanah longsor di Gampong Lamkleng.
Narasumber terakhir adalah Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang diminta mempresentasikan tentang pengaruh cuaca terhadap peristiwa tanah longsor di Gampong Lamkleng.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Mata Ie, Aceh Besar, hujan dengan intensitas tinggi pada tanggal 10 Januari 2021 diklaim sebagai penyebab terjadinya tanah bergerak.
Dikutip dari Serambinews.com, informasi itu diungkapkan oleh Kepala Stasiun Klimatologi Kelas IV, Indrapuri, Wahyudin SP, MIKom dan diamini oleh Kepala BMKG Stasiun Geofisika Mata Ie Aceh Besar, Djati Cipto Kuncoro SSi.
Pada kesempatan itu pula, BMKG memaparkan adanya data curah hujan yang tinggi, melanda wilayah Acedh Besar pada 10 Januari 2021.
BMKG mengklaim hujan dengan itensitas tinggi inilah yang membuat tanah jadi labil dan jenuh terhadap air.
Sehingga memicu terjadinya tanah bergerak (tanah longsor) di Gampong Lamkleng, Kecamatan Kuta Cot Glie, pada 10 Januari hingga kini.
Data Stasiun Klimatologi Indrapuri itu dianggap sangat sesuai dengan dugaan tim Survei Geologi USK yang diwakili oleh Dr Bambang Setiawan.
Sebelumnya, baik Dr Bambang Setiawan selaku Ketua Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik USK maupun Dr Nazli Ismail selaku Ketua Prodi Magister Ilmu Kebencanaan USK meyakini bahwa faktor hujan intensitas tinggi inilah yang menyebabkan rekahan dan tanah longsor di Gampong Lamkleng.
Saat berkunjung ke Lamkleng tanggal 12 Januari lalu, Dr Nazli yang jebolan Swedia menyimpulkan bahwa terjadinya tanah bergerak dan rekahan memanjang tersebut disebabkan oleh tanahnya yang sudah jenuh terhadap air.
Kejadian ini, kata Nazli, erat kaitannya dengan tingginya curah hujan dalam sepekan terakhir di wilayah Aceh Besar dan Banda Aceh.
Sehingga menyebabkan tanah labil, lalu longsor terus-menerus sejak 10 Januari hingga kini.
Kebetulan, lokasi tanah bergerak itu hanya sekitar 30 meter dari Sungai (Krueng) Aceh. Rekahannya pun memanjang mengikuti alur sungai. Tebing tanah pun miringnya ke arah sungai.
Selain faktor cuaca berupa hujan dengan intensitas tinggi, Dr Bambang Setiawan juga menyebutkan dua faktor lain yang berkontribusi pada terjadinya fenomena tanah longsor tersebut, yakni faktor bentang alam (lanskap) dan susunan batuan.
"Memang tidak bisa dipungkiri kondisi intrinsik bentang alam dan susunan batuan yang ada di lokasi juga turut memberikan andil terjadinya gerakan tanah yang bergeser secara rotasional di Lamkleng," kata Bambang kepada Serambinews.com, Selasa 19 Januari 2021.
Ia berharap, mudah-mudahan kondisi cuaca segera membaik sehingga tim USK bisa segera mengirimkan peralatan untuk mengidentifikasi bidang gelincir dari longsoran yang terjadi.
"Tanpa kejelasan dari posisi bidang gelincir dari longsoran yang terjadi, sangat sulit bagi kami untuk bisa memberikan solusi yang terbaik," ujarnya.
"Terus terang, kami ingin bisa secepatnya mendapatkan solusi terbaik, tetapi cuaca dalam beberapa hari terakhir sangat tidak bersahabat," tambah Bambang.
Ia juga sangat memohon kepada masyarakat yang terdampak untuk bersabar. "Insyaallah, bencana ini akan ada solusi untuk mengatasinya," kata Bambang Setiawan.
Baca juga: Tanah Bergerak di Lamkleng Aceh Besar Semakin Mengkhawatirkan, Tanah Turun Sampai Dua Meter
Baca juga: Tanah Bergerak Lamkleng, Pohon Bertumbangan dan Warga Semakin Was-Was
4. Mendesak Penetapan Zona Bahaya
Geologist senior Aceh, Ir Faizal Adriansyah MSi menilai, saat ini sudah mendesak ditetapkan zona bahaya dan zona aman di Gampong Lamkleng, Kecamatan Kuta Glie, Aceh Besar, sebagai lokasi terjadinya tanah bergerak (longsor) sejak 10 Januari lalu.
Apalagi, fenomena tanah longsor itu masih saja terjadi hingga hari kesebelas, Kamis (21/1/2021) pagi.
Selaku mantan ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Cabang Aceh, Faizal Adriansyah berpendapat, fenomena tanah longsor di Gampong Lamkleng itu sudah sampai ke tingkat yang sangat serius.
Lagi pula, penurunan muka tanahnya sudah mencapai 3 meter, pepohonan bertumbangan, dan makam pun banyak yang rusak.
"Dua-tiga kali saja turun lagi hujan lebat di lokasi tersebut, keadaannya bakal semakin parah. Longsor besar hanya menunggu waktu saja, karena tanahnya terus bergerak dari hari ke hari," kata Dosen Luar Biasa Jurusan Teknik Geologi Universitas Syiah Kuala ini.
Atas dasar pertimbangan itulah Faizal Adriansyah memandang perlu segera dipetakan zona merah, kuning, dan hijau.
Untuk menentukan zona bahaya tersebut memang perlu survei detail.
"Kalau sudah dipetakan, maka yang pertama harus dievakuasi dari lokasi tersebut adalah warga yang bermukim di zona merah," kata Faizal.
Menurut Faizal Adriansyah, penetapan zona ini penting untuk mitigasi.
Dengan adanya pembagian zona ini akan dapat direncanakan penyelamatan lahan lain sebelum merambat dan meluas. Misalnya, dengan melakukan penghijauan atau pembangunan tebing penahan longsor.
"Karena belum sempat ke lapangan, saya nggak tahu volume blok yang kemungkinan bergerak. Kalau kawan-kawan yang sering ke lapangan seharusnya sudah dapat menduga volume massa tanah yang akan berpindah," kata Faizal.
Terpisah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh, Ir Mahdinur MM mengatakan, dari hasil penghitungan di lapangan, jika blok longsoran bergerak, dengan dimensi panjang rekahan utama 220 meter, lebar 70 meter dengan slope 30°, maka diperkirakan ada ± 19.000 meter kubik massa tanah akan berpindah ke bawah.
Tanah yang berpindah itu bakal menutupi badan Sungai (Krueng) Aceh dengan membawa banyak material seperti pohon, bangunan, dan lain-lain.
5. Masyarakat diminta menjauhi lokasi longsor
Dalam kesempatan itu pula, Mahdinur mengimbau pada masyarakat untuk selalu waspada terhadap hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan jiwa dan harta bendanya.
"Untuk sementara waktu warga tidak lagi melakukan aktivitas di sekitar blok longsor, menjaga jarak dari pohon, jaringan listrik, dan lain-lain yang dianggap membahayakan," ungkapnya.
Secara khusus, Dr Nazli Ismail dari Prodi Magister Ilmu Kebencanaan USK menyarankan agar peternak jangan lagi menggembalakan ternaknya di sekitar tanah bergerak itu.
Terutama karena, bila hujan turun lebat lagi bisa-bisa terjadi longsoran baru yang lebih lebar dan lebih dalam sehingga dapat mengubur penggembala bersama ternaknya.
Ia juga menyarankan agar pemukim di lokasi terjadinya fenomena tanah bergerak itu segera mengungsi dan sebaiknya nanti jangan kembali lagi untuk bermukim di tempat tersebut.
Menurut Nazli Ismail, perlu dipelajari dulu geometri lokasi di Lamkleng, sehingga diketahui dengan persis bagian mana yang labil, mana pula yang stabil.
Areal yang terkena longsor dan berpotensi kena, kata Nazli, juga lumayan luas. "Lebih baik tindakan sekarang menyelamatkan penduduk, termasuk menyelamatkan pengunjung yang rasa ingin tahunya terhadap kejadian tersebut lumayan tinggi," kata Nazli.
Nazli memperkirakan, pengunjung tidak tahu situasi lokasi longsor dengan baik. Salah-salah saat ambil foto, selfi, atau observasi mereka bisa terjebak.
"Oleh karenanya, perlu ada pamflet atau papan pengumuman tanda bahaya di sekitar zona berbahaya di Gampong Lamkleng," Nazli bersaran. (Serambinews.com/Yeni Hardika)