SERAMBINEWS.COM – Penerapan UU ITE akhir-akhir ini ramai jadi perbincangan.
Hal ini lanataran Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan ia bisa meminta DPR untuk melakukan revisi pada UU ITE apabila penerapannya di masyarakat tidak adil, beberapa hari lalu.
Menurutnya, pasal-pasal di dalamnya bisa menjadi hulu dari persoalan hukum, terutama pasal-pasal karet yang dapat menimbulkan multitafsir.
Setidaknya ada 9 pasal dalam UU ITE yang berpotensi multitafsir dan menjadi pasal karet.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Pranowo pun meminta jajarannya agar bisa selektif dalam menggunakan dan menerapkan UU ITE.
Hal tersebut disampaikannya dalam Rapat Pimpinan Polri 2021 pada Selasa (16/2/2021).
Baca juga: Ayah Rudapaksa Putri Kandung 10 Kali Hingga Hamil, Lalu Paksa Korban Gugurkan Kandungan
Baca juga: Selain Borong Mobil Setelah Kaya Mendadak, Ini yang Dilakukan Warga Desa dengan Uang Miliaran Rupiah
Baca juga: Tak Dengar Nasihat Suami, Wanita Ini Meninggal saat Berhubungan dengan Selingkuhan Kakek 66 Tahun
Mengutip dari Kompas.com, menurut Listyo, UU ITE selama ini digunakan untuk saling melapor sehingga berpotensi menciptakan polarisasi di masyarakat.
Akibatnya, undang-undang ini dirasa tidak lagi sehat.
Listyo mencontohkan, bahwa saat ini masyarakat menganggap Polri berpihak pada kelompok tertentu dalam menerapkan UU ITE.
"Ada kesan bahwa UU ITE ini represif terhadap kelompok tertentu. Tapi tumpul terhadap kelompok yang lain. Sehingga tentunya, mau tidak mau ini menjadi warna polisi, kalau kita tidak bisa melakukan ini secara selektif," ujar Listyo dikutip dari Kompas.
Dalam sebuah kicauan baru-baru ini, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto mengungkapkan ada sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE.
"Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum," tulis Damar dalam sebuah kicauan.
Baca juga: Mengajar Al Quran di Rumah, Ustadzah Ternama di Arab Saudi Ditangkap oleh 20 Anggota Intelijen
Baca juga: Hasil Liga Champions: 5 Fakta Menarik Liverpool Hancurkan Leipzig, Salah dan Mane Bikin Gol
Baca juga: Kakek 71 Tahun Tega Cabuli Cucu Tiri, Ketahuan Gegara Korban Ketakutan Saat Diajak ke Rumah Pelaku
Salah satu pasal yang dimaksud masih ada kaitannya dengan pasal 27 ayat 3 tentang defamasi.
Defamasi atau dergama atau fitnah merupakan komunikasi kepada satu orang atau lebih yang bertujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan atas fakta palsu.
Stigma itu dapat memengaruhi penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang.
Hal terkait fitnah adalah pengumuman fakta yang bersifat pribadi kepada publik, yang muncul ketika seseorang mengungkapkan informasi yang bukan masalah umum, dan hal tersebut bersifat menyerang pribadi yang bersangkutan.
Hukum penjelasan palsu "terutama ditujukan untuk melindungi kesejahteraan mental atau emosional penuntut".
Jika publikasi informasi itu palsu, terjadilah kesalahan berupa fitnah.
Jika komunikasi itu tidak salah secara teknis namun menyesatkan, kesalahan berupa penjelasan palsu bisa terjadi.
Ia menganggap, pasal ini dapat digunakan untuk membatasi kebebasan berekspersi masyarakat.
Pasal itu terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa.
Butir yang ada di pasal ini kerap kali digunakan untuk menuntut pidana pada netizen yang melayangkan kritik melalui media sosial.
Baca juga: Ibu Persit KCK Koorcab Rem 011 Panen Ikan Lele Sistem Bioflok
Baca juga: Kabar Duka, Personel Band Metal ROTOR Irfan Sembiring, Meninggal Dunia
Bunyi pasal tersebut adalah: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Selain pasal 27 ayat 3, Kompas.com melansir, berikut daftar delapan pasal-pasal bermasalah lainnya karena rumusan pasalnya tidak ketat (karet) dan multitafsir:
1. Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. Pasal ini bermasalah soal sensor informasi;
2. Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online;
3. Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi, dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang menkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara;
4. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.
6. Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
7. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.
8. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
9. Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.
Sejak diresmikan, UU No 11 Tahun 2008, khususnya pasal 27 ayat 3 sudah menjerat puluhan orang.
Sepanjang tahun 2020, lembaga pemerhati keamanan internet, Safenet mencatat sudah ada 34 kasus terjadi.
Presiden Joko Widodo sebelumnya pernah menganjurkan revisi terhadap UU ITE pada DPR pada Desember 2015 silam.
Revisi tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016.
Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika kala itu meyakini setelah dilakukan revisi, UU ITE tidak akan lagi mengkriminalisasi kebebasan berpendapat.
Rudiantara melanjutkan, revisi tersebut akan memberikan kepastian pada masyarakat.
Salah satunya terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang kerap menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.
"Dengan revisi ini, tidak ada multitafsir. Karena tuntutan hukum dari maksimal enam tahun menjadi maksimal empat tahun.
Jadi tidak bisa ditangkap baru (kemudian) ditanya, karena semuanya harus ada proses. Lalu deliknya adalah delik aduan," kata Rudiantara pada 2016 silam.
(tribunnewswiki.com)
Artikel ini telah tayang di Tribunewswiki.com dengan judul Inilah 9 Pasal UU ITE Dianggap Pasal Karet, Kapolri Listyo: Bisa Membuat Polarisasi di Masyarakat