Perjanjian Perdagangan

Referendum IE-CEPA dan Kekhawatiran Eropa Atas Isu Keberlanjutan di Indonesia, Khususnya Soal Sawit

Editor: Taufik Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pekerja sedang memuat TBS kelapa sawit di areal perkebunan milik petani di kawasan Jalan 30 atau Jalan Lingkar Babahrot-Surien, Kecamatan Kuala Batee, Abdya, Sabtu (14/9/2019). Harga sawit di tingkat petani mulai bersaing setelah pengusaha PMKS di Subulussalam meningkatkan harga beli TBS sawit dari Abdya. Harga sawit Abdya selama dua hari terakhir masih bervariasi antara Rp 850 sampai Rp 920 per kg.

Terhitung sejak Januari 2011 hingga Mei 2014 telah terjadi 9 kali perundingan yang membahas 12 ragam aspek.

Isu runding paling mendapat sorotan masyarakat Swiss adalah perdagangan dan pembangunan berkelanjutan.

Perundingan mengalami kemajuan signifikan pada 2018 setelah berhasil menyelesaikan total 15 perundingan substansial.

Melalui perjanjian ini, produk-produk Indonesia akan mendapatkan akses pasar berupa konsesi penghapusan dan pengurangan tarif.

Menurut pemerintah, paling tidak ada 7.042 penghapusan pos tarif di Swiss dan Liechtenstein.

Kemudian di Norwegia ada 6.338 pos tarif dan 8.100 pos tarif di Islandia.

Pemerintah memperkirakan akan ada sekitar 8.000-9.000 produk Indonesia akan diberikan fasilitas tarif Bea Masuk sebesar 0 persen dengan perjanjian ini.

Baca juga: Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 14, Buat Akun di www.prakerja.go.id

Baca juga: Nazaruddin Diisukan Jabat Bendahara Umum Partai Demokrat Kubu Moeldoko, Ini Jawaban Jhoni Allen

Baca juga: Motif Pembunuh Berantai di Bogor, Pengakuan Pelaku Mengejutkan: Saya Benci Perempuan

Indonesia masih rugi

Direktur Eksekutif Institute for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan hasil referendum di Swiss tidak bisa diartikan sebagai perubahan industri kelapa sawit menjadi lebih ramah lingkungan.

Menurut perjanjian ini, Indonesia hanya bisa menikmati penurunan bea masuk pada ekspor 12.500 ton minyak kelapa sawit ke negara EFTA karena ketatnya standar process and production method (PPM).

Standar tersebut menurut Rachmi antara lain produksi sawit tidak boleh di atas lahan tebas bakar, lahan gambut, bebas polusi udara dan air, serta menjamin terlindunginya hak petani kecil dan masyarakat adat.

“Tidak ada produsen sawit di Indonesia yang bebas dari masalah itu. Artinya kecil kemungkinan Indonesia bisa mengekspor kelapa sawit dengan fasilitas penurunan tarif,” ujar dia.

Sawit, menurut Rachmi hanyalah bagian kecil dari kepentingan Swiss di Indonesia.

“Kepentingan besar Swiss tentu ada di sektor lain seperti finansial, pertanian, dan farmasi,” ujar dia.

Di sektor pertanian Indonesia diharuskan memberikan ekslusivitas data bagi input pertanian seperti pupuk dan pestisida selama 10 tahun.

Halaman
1234

Berita Terkini