Kupi Beungoh

Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Kasab Meulaboh, Ibunda, dan Ikon Etnis (III)

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia kelahiran Meulaboh Aceh Barat, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021.

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

PIROUS adalah campuran yang unik dari dua tradisi beragama yang dimiliki oleh kedua orang tuanya.

Pirous tua, ayahnya, Mauna Pirous Noor Mohamad, dan ibunya Hamidah.

Seperti yang ditulis oleh  Keneth M, George, professor Anthropology dari Universitas Wisconsin Madison, dalam buku, Picturing Islam: Art and Ethics in a Muslim Lifeworld - Melukis Islam (terjemahan Penerbit Mizan  2012), diceritakan pergumulan Pirous tentang seni di antara kedua orang tuanya.

Perbedaan diametral itu akhirnya berhasil didamaikan oleh Pirous dalam penemuan dan pencarian identitas dirinya kelak dalam berbagai  karya seninya.

Kehidupan Pirous kecil bagaimanapun tetap dibayangi oleh ayahnya yang reformis, modern, kosmopolit, namun sangat kaku dalam melihat seni.

Dalam pengakuannya kepada George (2012), Pirous menyebutkan ia yakin ayahnya tak memiliki darah seni sedikitpun.

Ayahnya bahkan mencurigai apapun yang bernama seni sebagai pengganggu ketaatan dalam ibadah, tidak etis, dan bahkan sangat berpotensi untuk menjadi pengganggu iman.

Mouna Pirous adalah pengusaha kebun karet yang cukup berhasil dan bahkan menumpahkan uangnya untuk pembangunan sebuah surau untuk mens publik, mendanai madrasah, dan mensponsori penguatan pendidikan dan agama melalui pembiayaan guru undangan dan pendakwah oleh dirinya sendiri.

Walaupun kaku terhadap seni, sang ayah adalah representasi sebuah gugus reformis  Islam di pantai barat Aceh yang mencerminkan sifat kepeloporan dan komitmen semangat zaman.

Sosiolog Aceh, Ahmad Humam Hamid, berkunjung ke galery lukisan seniman Indonesia kelahiran Meulaboh Aceh Barat, Abdul Djalil Pirous (AD Pirous), di kawasan Dago Pakar, Bandung, April 2021. (SERAMBINEWS.COM/Handover)

Berbeda dengan ayahnya, ibunya Hamidah adalah sosok perempuan yang dibesarkan dalam tradisi Islam tradisional yang tidak hanya berurusan dengan ibadah mahdhah, tetapi juga larut dalam tharikat, tasawuf, dan bahkan sufi mistik yang menjadi ciri keberagamaan pada saat itu.

Dalam ingatan Pirous ibunya memelihara kedekatan dan kesadaran dengan kehadiran sang Khalik sepanjang waktu dengan meditasi zikir yang panjang setiap hari.

Ia juga sering membaca 20 sifat Allah yang mulia, bahkan tak jarang melafalkan sendirian tentang nama indah sang Azzawajalla dengan 99 Asmaul Husna.

Dalam hal seni, Hamidah memiliki praktik yang sangat terkait dengan agama.

Ia terampil dalam tilawah, dan juga pandai bertutur tentang cerita lokal dan sejarah Islam masa Rasul kepada Pirous kecil.

Halaman
1234

Berita Terkini