Ahmad Humam Hamid*)
BANYAK orang yang terkagum-kagum menikmati keindahan Mesjid Negara Istiqlal di Jakarta.
Tapi sebagian orang kemudian agak sedikit berkurang kekagumannya, setelah tahu bahwa mesjid itu dirancang oleh seorang arsitek hebat beragama Nasrani.
Arsitek itu adalah Friedrich Silaban yang merupakan teman dekat Sukarno, presiden Republik Indonesia yang menggagas pembangunan masjid Itiqlal.
Banyak orang menyangka adalah Sukarno yang menggunakan kekuasaan untuk membuat Silaban sebagai perancang Istiqlal.
Padahal sama sekali tidak.
Silaban memenangkan sayembara perancangan pada tahun 1961 itu, dimana Buya Hamka menjadi salah seorang jurinya.
Hanya saja, Silaban menggunakan nama samaran, sehingga tidak menarik perhatian dewan juri untuk membahas siapa dirinya.
Bisa dikatakan, Silaban menang secara sangat objektif.
Kita tidak tahu ketika keputusan juri itu menjadi keputusan politik pemerintah.
Apakah sebelumnya Sukarno pernah membaca sejarah berdirinya Mesjid Raya Baiturrahman, yang sampai hari ini menjadi kebanggaan rakyat Aceh?
Yang pasti ada keserupaan yang tak sama antara asbabun nuzul arsitektur Mesjid Istiqlal dan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Sukarno adalah pelahap buku dan catatan sejarah.
Barangkali Sukarano tahu dan pernah membaca bahwa bahwa 82 tahun sebelum Istiqlal dibangun, di salah satu provinsi yang sangat kental dengan nilai-nilai keislaman agak sama prosesnya dengan Istiqlal.
Masjid yang menjadi kebanggaan rakyat Aceh, dirancang dan dibangun oleh nonmuslim, bahkan penjajah Belanda.
Masjid itu adalah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Ceritanya sangat sederhana, agresi Belanda pertama pada tahun 1873 mendapat perlawanan kuat dari berbagai tempat, dengan konsentrasi utama di Masjid Raya Baiturrahman.
Pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Kohler menduga bangunan itu adalah benteng pertahanan Aceh, dan kemudian menembakkan bola api ke Masjid Baiturrahman.
Masjid ludes terbakar dan Belanda harus membayar mahal, Jenderal Kohler mati ditembak di halaman masjid oleh sniper pejuang Aceh.
Belanda meminta maaf kepada ulama dan tokoh-tokoh masyarakat beberapa tahun setelahnya.
Atas perintah Jenderal Van Der Haijden, Baiturrahman dibangun kembali pada tahun 1879 dan selesai pada tahun 1881.
Dalam membangun Masjid itu, Belanda mengerahkan keahlian dan biaya yang cukup lumayan.
Seorang arsitek Belanda Gerrit Bruins membuat desainnya, lalu diadaptasi oleh L.P. Luijks, yang sekaligus mengawasi pembangunannya.
Kontraktor pembangunan masjid adalah pengusaha berdarah Cina, Lie A Sie (Tirto 2021).
Bruins mengerahkan segala pengetahuan dan kemampuannya untuk menciptakan keindahan Baiturrahman dengan harapan akan memulihkan hati rakyat dari serangan yang telah terjadi dan keberlanjutan penjajahan Belanda.
Tidak dapat dibantah Bruins mencoba mengadopsi berbagai elemen keping budaya Islam mancanegara yang dipadukan sehingga menjadi entitas unik Aceh.
Secara sangat jelas tampak arsitektur Moghul India menjadi tema utama bangunan Baiturrahman, teruatama kubah dan menaranya.
Arsitektur Islam Moghul sendiri lebih mencerminkan kompleksitas perpaduan seni India, Persia, dan Turki (Asher 1992).
Tidak berhenti di kubah dan menara, Bruins juga memasukkan style tiang Andalus, dengan atap dan dinding yang lebih mencerminkan Eropah.
Tidak berhenti dengan keindahan bangunan, Belanda juga mendatangkan marmar untuk Lantai dari Tiongkok, kaca patri untuk jendela dari Belgia, pintu kayu berdekorasi dengan lampu hias dari perunggu.
Mesjid itu selesai dibangun pada tahun 1881 bersamaan dengan dengan Pendopo pemerintah.
Foto-foto yang beredar di media Belanda dan juga Eropah pada masa itu, Pendopo dengan kereta kuda, dan mesjid Raya Baiturrahman yang mempunyai unsur seni Eropah telah memberi keyakinan kepada publik di sana bahwa mitos Aceh sebagai daerah tak tertaklukkan “telah selesai”.
Dan Aceh kemudian telah menjadi bagian total dari wilayah Hindia Belanda di Nusantara.
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menyaksikan Seniman Bertasbih dan Berzikir (I)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Menemukan Kembali Aceh di Amerika Serikat (II)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Kasab Meulaboh, Ibunda, dan Ikon Etnis (III)
Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Flash Gordon, Gampong Pande, Tanoh Abee, dan Makam Raja Pase (IV)
Tidak Mau Shalat Hingga Tak Bisa Diubah
Ada dua hal yang terjadi dengan masjid itu.
Pertama, setelah selesai dibangun, warga Aceh pada masa itu tidak mau shalat di sana.
Alasannya karena bangunannya sama sekali sangat berbeda dengan masjid Aceh sebelumnya yang lebih berasosiasi dengan elemen budaya lokal dan India klasik yang mungkin lebih berbau Hindu.
Butuh waktu relatif lama bagi orang Aceh untuk mau beribadah di masjid yang dibangun oleh “kaphe” Belanda itu.
Sisa bentuk bangunan awal Masjid Baiturrahman mempunyai ciri tropis “seurayung” dengan atap berlapis yang mengecil ke atas seperti piramida, masih ada di masjid tua Indrapuri dan mesjid di gampong Siem Aceh Besar.
Bentuk bangunannya juga mempunyai kesamaan total dengan 999 buah mesjid yang dibangun almarhum Presiden Soeharto di seluruh Indonesia via Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila.
Hal kedua, kerapian dan keindahan Baiturrahman telah terkunci dengan design yang dibuat Bruins.
Bagi siapapun yang ingin mengotak ngatik bangunan itu, setelah masjid itu selesai pada tahun 1881 tidak ada pilihan lain:
merobohkan untuk membangun yang baru, atau menambah dan memperluas dengan tetap terkunci pada design Bruins, si perancang Belanda itu.
Nyaris tak ada lagi ruang kreativitas yang bagi terbuka bagi siapapun sampai kapan pun.
Baca juga: Jamaah Tarawih Perdana di Masjid Raya Baiturrahman Padat, Shaf Hingga ke Taman Rumput dan Basement
Baca juga: Warga Tionghoa Ikut Vaksin Massal di Masjid Raya Baiturrahman
Renovasi Tanpa Perubahan
Perluasan dan renovasi Baiturrahman setidanya berlangsung beberapa kali dan tetap mengacu kepada kerangka Bruins yang asli.
Pada tahun 1992 almarhum Gubernur Ibrahim Hasan membuat renovasi besar-besaran, termasuk dengan perluasan halaman masjid hingga mencapai luas total dengan halaman hampir mencapai 1 hektare.
Masjid yang diperbesar itu kemudian bertambah kubahnya menjadi 7 dengan 8 menara.
Ibrahim Hasan sangat hati-hati dalam memugarnya, terutama basis moralnya adalah untuk tidak menganggu atau merusak nilai-nilai warisan yang melekat pada masjid itu.
Pertama ia sangat gundah dengan masjid yang hanya mempunyai sebuah lampu perunggu yang diwarisi dari masa pendirian pertamanya lebih dari satu abad yang lalu.
Lampu gantung itu yang memang sudah klasik tidak akan pernah mampu lagi menyinari masjid yang sudah berganda beberapa kali luasnya dari masjid pertama didirikan.
Dalam pandangan Ibrahim Hasan, bagaimana mungkin masjid yang begitu indah di luar, cantik di dalam, namun penerangan lampunya di dalam nyaris berstyle lampu listrik biasa.
Segala keindahan itu akan ditelan oleh suasana dalam yang kering, tanpa aura keheningan dan kekhusyukan sekaligus.
Baca juga: Syekh Ali Foto di Depan Baiturrahman
Baca juga: Dari Jakarta, Nani Naik Sepmor ke Baiturrahman
Sentuhan AD Pirous
Ibrahim Hasan ingat punya kawan dekatnya seniman nasional asal Meulaboh, pengajar ITB, AD Pirous yang dulu juga pernah sama-sama membantu Prof. A Majid Ibrahim pada rancangan keindahan lapangan dan gedung MTQ 1979.
Ia mengundang Pirous dan berkonsultasi tentang lampu yang terbatas itu.
Usul Pirous sangat sederhana, lampu klasik tembaga itu mesti dibuat replikanya sebanyak yang dibutuhkan.
Ibrahim Hasan setuju dan ia menyerahkan urusan itu kepada Pirous.
Hasilnya, tak lama kemudian berjajar 30 lampu gantung-chandelier yang seragam bejejer indah di bagian atas Baiturrahman.
Ada suasana elegant yang temaram yang membantu kekhusyukan jamaah sembahyang dalam berdialog dengan sang Khalik.
Proses kreativitas minimalis mulai terjadi, Pirous telah memulainya dengan upaya kecil, mereproduksi lampu yang serupa dari lampu pertama Baiturrahman.
Kunci design yang dibuat oleh Bruins memang sangat sukar diutak atik.
Ibrahim Hasan memanggil lagi Pirous dan bertanya tentang kemungkinan membuat pintu masuk mesjid dengan struktur dan ornamen yang menyatu dengan bangunan, namun harus memuat elemen etnik, dalam hal ini Aceh.
Pirous mengiayakan dengan sangat hati-hati.
Ia berburu lagi ke lapangan mencari peninggalan indatu yang tersebar ddan berserakan di seluruh Aceh.
Akhirnya ia menemukannya di sebuah masjid kecil tua di sebuah lokasi dekat dengan Banda Aceh, namun terpencil letaknya di kawasan menuju Ujung Pancu, yakni di masjid Indra Purwa.
Di masjid inilah ia menemukan mimbar kuno yang sangat klasik dan indah- penulis pernah melihatnya sebelum tsunami-.
Ukiran dan relif dari dinding mimbar itulah yang menjadi insparasi Pirous yang kemudian dijadikan kerawang tembaga dalam bingkai pintu masuk ke Baiturrahman.
Mimpi Ibrahim Hasan untuk memasukkan ikon etnik Aceh ke dalam bangunan Masjid Baiturrahman tercapai sudah, dan Pirouslah yang menjadi bidannya.
Boh Meuriya di Puncak Tugu Modal
Ibrahim Hasan tidak mau berhenti dalam upaya memperindah Baiturrahman, dan di saat yang sama juga ingin membagun monument daerah modal yang bercorak relegius.
Ia memperluas halaman depan masjid.
Di ujung halaman sebelah kanan dibangun sebuah menara tertinggi yang menggambarkan Aceh sebagai daerah yang kental dengan nilai-nilai religius yang kemudian menjadi sebagai daerah modal Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sekalipun menara itu letaknya agak jauh dari bangunan utama dan berstatus sebagai monumen, tentu saja bangunan itu tak terpisahkan dari totalitas keberadaan Baiturrahman.
Kali ini Ibrahim Hasan gusar lagi, tentang bagaimana membangun kubah kecil menara yang orisinal Aceh, namun tetap dapat menjadi bagian tak terpisahkan dan serasi dengan kubah dan menara yang telah ada.
Dan itu, lagi lagi Pirous yang ditugaskan.
Pirous tidak kehilangan akal, ia berkontemplasi dan mengungat berbagai tempat dan lingkungan masa kecilnya di Meulaboh.
Akhirnya ilham kubah itu datang bukan dari bangunan atau artefak budaya lain, tetapi dari rawa-rawa yang ada di sekitar Meulaboh.
Boh meuriya alias buah rumbia, itulah konsep dasar menara monumen itu yang kemudian dikalibrasi seninya oleh Pirous dan jadilah menara dengan kubah kecil Aceh original yang dibuat oleh putera Aceh sendiri.
Estetika Baiturrahman memang tidak sangat banyak yang bisa dilakukan, kecuali oleh tangan-tangan yang bercita rasa tinggi, imajiner, dan memahami akar etnik yang kuat.
Ada seni dan nilai-nilai yang luhur yang membuat masjid itu mempunyai aura dan roh tersendiri.
Namun kadang sekali waktu ada kreativitas manusia yang istimewa, walau terhadap struktur dan arkitektur yang telah dikunci rapat, tak ubahnya seperti yang dilakukan oleh Pirous terhadap kunci Gerrit Bruinsnya Baiturrahman.
Pirous mengolah seninya dengan mencari keserasian dan keterpaduan, dan bahkan berhasil dengan cukup baik.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.