Kupi Beungoh

Moustapha Akkad, Ertugrul, dan Cut Nyak Dhien: Tentang Wajah Asli Yang Sering Terabaikan (I)

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

The Message - The Story of Islam, Lion of the Desert, Ertugrul, dan Cut Nyak Dhien, adalah empat film bertaraf internasional yang menampilkan wajah Islam yang sebenarnya, bukan dari gambaran para penulis dan sutradara barat.

Oleh: Ahmad Humam Hamid*)

BEBERAPA hari yang lalu, beberapa media memberitakan tentang film Cut Nyak Dhien yang dibintangi Christine Hakim dan disutradarai oleh Eros Djarot akan diputar ulang di bioskop ibu kota dan seluruh Indonesia.

Film yang telah direstorasi di Belanda, dimana negara itu juga sekaligus memberikan hibahnya, kini telah mulai dinikmati di bioskop-bioskop ibu kota, dan segera akan beredar di daerah.

Film adalah sebuah media hiburan yang telah berumur 126 tahun semenjak diluncurkan pertama kalinya di Grand Cafe Paris, Perancis pada tahun 1895.

Sampai hari ini, film telah berkembang sedemikian rupa, mulai dari tehnik, sampai kepada penggunaannya dalam berbagai kepentingan.

Film Cut Nyak Dhien yang dibuat pada tahun 1988 bagi Eros Djarot mungkin lebih didasari kepada keinginan menonjolkan semangat kepahlawanan wanita Aceh dan segala dinamikanya.

Eros Djarot mengakui ia tak puas dengan film itu, karena ketika ia mengerjakan film itu uangnya tak cukup, dan bahkan dukungan dari masyarakat Aceh relatif sangat kurang.

Benarkah film, drama televisi, dan sejenisnya hanya sebuah tontonan penghibur dan pengisi waktu senggang yang tidak mempunyai muatan apapun?

Jawabannya adalah tidak.

Film selalu membawa pesan mulai dari yang paling lunak dan berharga, seperti keindahan, romatisme, kepahlawanan, nilai-nilai moralitas universal sampai kepada “penjajahan” budaya.

Tidak mengherankan, kalau kemudian persoalan film ini menjadi sebuah ajang pertarungan nilai-nilai, ideologi, bahkan hegemoni negara adikuasa.

Contoh yang paling sering disebut adalah betapa banyak film poduksi Hollywood yang sering memotret kawasan Timur Tengah sebagai akar dari berbagai bentuk kekerasan global, dimana Islam menjadi biang utamanya.

Penonton di berbagai negara disuguhi dengan narasi buruknya ajaran Islam, masyarakat Islam, dan bahkan kemudian hanya terselamatkan dengan kehadiran seorang aktor yang menjadi pahlawan yang bukan orang Islam.

Baca juga: Nasir Djamil Ajak Milenial Tonton Film Cut Nyak Dhien, Forbes Sedia Tiket Gratis untuk Pemuda Aceh

Baca juga: Kesekian Kalinya Tonton Film Tjoet Nja’ Dhien, Ini Kata Anies Baswedan Soal Sang Pahlawan dan Aceh

Moustapha Akkad, The Message dan Lion of the Desert

Tidak banyak tokoh Islam di dunia yang mampu menerangkan apa itu Islam melalui layar lebar kepada aundiens global, kecuali Moustapha Akkad.

Pria kelahiran  1930 di Aleppo, Syiria, yang kemudian bermigrasi dan menjadi warga AS dan mencurahkan hidupnya untuk cinematography adalah icon seniman perfileman Islam yang berjuang keras untuk keluhuran agamanya.

Dua karyanya yang sangat spektukaler adalah The Message, The Story of Islam (1976), dan Lion of the Desert (1981).

Yang pertama menceritakan tentang sejarah awal perjuangan Rasul, menyebarkan dan memperjuangkan Islam di Mekkah dan di Madinah.

Yang kedua tentang perjuangan Omar Mokhtar, seorang ulama Libya yang berjuang melawan penjajahan Italia di bawah Mossolini terhadap rakyatnya.

Ketika Akkad membuat film The Message, tak ada penyandang dana yang mau ikut apalagi berani.

Liga Muslim International dan banyak ulama terkemuka mengecam pembuatan film itu.

Karena takut dengan citra rupa Rasul yang akan ditampilkan  seperti layaknya banyak film Yesus produksi Hollywood. 

Hanya Muammar Khadafi, pemimpin Libya pada masa itu, dan Raja Hassan II dari Marokko yang mau menyandang dana untuk film itu. 

Hassan II bahkan kemudian menarik dukungannya setelah dikecam oleh kerajaan Saudi Arabia pada masa itu.

Walaupun Akkad besar dalam lingkungan perfileman AS yang sangat liberal, ia tak mau menampilkan baginda Rasul, Muhammad SAW, dengan penampilan aktor secara nyata.

Ia “patuh” dengan fiqih tentang larangan “merupakan” Rasul, sekaligus menjaga perasaan ummat.

Ia hanya menampilkan Hamzah yang diperankan dengan sangat baik oleh Anthony Queen dan Hindun oleh Irene Papas yang juga tidak kalah hebatnya.

Film kolosal yang dibuat oleh Akkad mengingatkan banyak orang tentang raksasa sutradara berbagai film versi Bibel, Cecil B Mille, The Ten Commandment, Samson and Delilah, Cleopatara dan berbagai film lainya.

Pada tahun 1981, Akkad membuat debut kedua tentang “dakwah” sejarah dunia Islam ke dunia Nonislam-terutama barat.

Ia memproduksi kisah heroik perang kolonial rakyat Libya yang dipimpin oleh “Tgk Syik Di Tiro”nya Libya, Omar Mukhtar.

Lagi-lagi Anthony Queen yang berperan sebagai Omar Mokhtar berhadapan dengan Jendral Rodolfo Graziani panglima kepercayaan Mussolini yang diperankan oleh Oliver Reed dengan sangat cemerlang.

Seperti layaknya film Akkad, the Message, Lion of the Desert inipun dibiayai oleh Mouammar Khadafi yang sangat berambisi menerangkan Islam bukan dari kacamata “barat”.

Keberanian Akkad dalam membuat film yang diharapkannya akan menjadi “jembatan” penghubung dunia Islam dengan barat dan masyarakat global bukannya tidak mempunyai tantangan.

Ia dikecam oleh sebagian penghujat Islam di Eropah dan AS yang takut dengan “kebenaran asli” tentang Islam.

Tidak cukup oleh pembenci Islam, ia juga dikecam dengan sangat keras oleh sebagian elit Islam sendiri, baik sebagian para ulama, maupun para penguasa.

Tidak mengherankan, kemarahan Saudi terhadap pembuatan film the Message, membuat Emir Kuwait pada masa itu, Sabah III Al-Salim Al-Sabah, membatalkan niatnya untuk menjadi salah satu penyandang dana film itu.

Baca juga: Kunjungan Ramadhan ke AD Pirous: Pemula dan Pendiri Kaligrafi Kontemporer Nasional (VII)

Baca juga: Napoleon, Kohler, Muzakir Walad, dan Warisan Gampong Pande (3- Habis)

Dirilis Ertugrul

Ketidaksenangan  dan kemarahan terhadap sejarah Islam versi Islam via layar lebar kini sedang dialami oleh Dirilis Ertugrul, sebuah serial epik tentang saga cikal bakal imperium Ottoman-Osmani.

Film produksi Turki yang hanya bersumber dari 7-8 halaman tulisan, oleh produser dan penulis skripnya Mehmet Bozdag mampu dipanjangkan menjadi lebih dari 150 episode.

Film tentang Ertugrul -ayah Osman I, pendiri dinasti Ottoman, yang diperankan dengan cukup brilian oleh Engin Altan Düzyatan itu bukan sembarang serial.

Dirilis Ertugrul sering dianalogikan dengan serial Game of the Throne nya produksi perusahaan serial film dan TV kabel HBO, Amerika Serikat.

Perbedaan besar film yang dibuat oleh Akkad dengen serial film yang dibuat oleh Mehmet Bozdag dengan sutradaranya Metin Gunay adalah bahwa Turki tidak mengimport pemain Holywood sekelas Anthony Queen atau Irene Papas versi abad ke 21.

Para aktor dan aktris pribumi Turki sekelas Esra Bilgiç, Hande Soral, Hülya Darcan, Osman Soykut, Didem Balçın, Ayberk Pekcan, dan Cengiz Coşkun, untuk menyebut sebagian, tidak kalah hebatnya dengan berbagai bintang Hollywood dan Bollywood.

Tidak hanya itu, kemampuan kreasi soundtrack Anas Chabarek dengan musik Turki yang heroik dan religius, dan kadang sendu, semakin menjadikan film ini sebagai penguat alternatif baru masa depan kiblat film global selain Hollywood dan Bollywood.

Mungkin Chabarek tidak layak diperbandingkan dengan James Horner, kreator soundtrack film pemborong Oscar, the Titanic, dan A Beautiful Mind.

Musik yang ditampilkan Chabarek setidaknya membuat kuping sebagian besar ummat Islam, bahkan yang sekular sekalipun menjadi enak dan mengasyikkan.

Baca juga: Erdogan Sebut Austria Bagian dari Nazi Jerman, Ikut Bantai Yahudi, Kini Beri Dukungan ke Israel

Baca juga: Erdogan Minta Paus Fransiskus Beri Hukuman ke Israel

Memberitahu Islam yang Sebenarnya

Disebutkan atau tidak, setiap film selalu membawa sebuah misi, baik yang terlihat  dengan tegas dan jelas dalam beragai adegan yang ditampilkan, ataupun pesan tak langsung yang masuk menyelinap secara perlahan ke dalam jiwa pemirsa.

Baik pesan langsung maupun tak langsung akhirnya film kemudian dapat membuat persepsi berubah, yang kemudian menjalar menjadi penentu dalam cara memandang, bersikap, dan bahkan bertindak.

Film kemudian secara sendiri ataupun bergerombolan menjadi kekuatan penentu narasi yang mendefinisikan baik buruk, jahat, dan terpuji tentang sesuatu.

Seperti pengakuannya kepada banyak kalangan, Moustapha Akkad, yang meninggal pada tahun 2005, ia hanya membawa misi Ayahnya.

Ketika ia membuat film The Message, the Story of Islam, ia hanya membawa misi yang dipesankan oleh ayahnya, seorang pegawai kantor pos di Syiria.

Ketika ia terbang menuju AS pada umur 18 tahun, ayahnya memberinya uang 200 dollar dan satu Alquran.

Di Airport Damaskus ayahnya hanya sempat berkata “inilah yang dapat  aku berikan, mungkin kita tak bertemu lagi, dan jangan lupa doaku akan selalu bersamamu.”

The Message bagi Akkad adalah pesan ayahnya, dan sekaligus juga pesan mayoritas umat Islam dunia untuk memberitahu barat dan nonmuslim tentang Islam yang sebenarnya.

Islam dalam The Message bukan seperti Islam yang digambarkan secara sangat salah oleh mereka yang bukan Islam.

Ia mengaku, membuat film the Mesage  disamping ia teringat kepada ayahnya, ia juga harus menceritakan kebenaran asli tentang Islam.

Sebagai muslim sejati, adalah kewajibannya untuk menerangkan Islam yang sebenarnya kepada publik dunia melalui karir yang ditempuhnya, dunia perfileman.

Bagi Akkad, cara menerangkan Islam yang paling tepat kepada publik, terutama nonmuslim adalah dengan memberikan gambaran utuh tentang kehidupan pembawa ajaran Allah SWT itu sendiri, nabi Muhammad SAW.

Ia tidak “merupakan” Rasul dalam bentuk aktor, tetapi menonjolkan sifat dan akhlak sang pembawa kebenaran dan keteladanan yang bertabrakan dengan reperesentasi kebohongan, kezaliman, ketidakjujuran, keserekahan, dan kemunafikan.

Pergumulan nilai-nilai universal tentang kemanusiaan, kebebasan, dan perdamaian, yang dibawakan oleh nabi Muhammad SAW ditampilkan dengan sangat terstruktur oleh Akkad.

Paling kurang Akkad telah memberi pilihan kepada mereka yang mau tahu tentang Islam dengan sebuah alternatif narasi baru yang selama dua tiga abad telah ditenggelamkan oleh ketidaktahuan dan bahkan mungkin kebohongan pemahaman barat.(*)

Ahmad Human Hamid, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. (KOLASE SERAMBINEWS.COM)

*) PENULIS adalah Sosiolog, Guru Besar Universitas Syiah Kuala.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkini