Kasus Nelayan Aceh Dihukum karena Menolong Rohingya: Penyelundupan atau Kemanusian?

Penulis: Yocerizal
Editor: Yocerizal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tiga nelayan Aceh dan satu warga etnis Rohingya yang terlibat dalam kasus keimigrasian.

Laporan Yocerizal | Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), pada Kamis (1/7/2021) kemarin menggelar diskusi publik.

Diskusi yang berlangsung secara virtual (daring) itu mengangkat isu tentang Faisal Cs, tiga nelayan Aceh yang dihukum karena dianggap bersalah menolong imigran Rohingya.

Tema yang diangkat: ‘Vonis Penjara Nelayan Aceh: Penyelundupan atau Kemanusiaan?’.

Diskusi menghadirkan empat narasumbur, yaitu Anggota DPD-RI asal Aceh Tgk M Fadhil Rahmi, dan Rima Shah Putra dari Geutanyoe Foundation.

Selain itu juga ada Hendra Saputra dari Kontras Aceh, dan Muhammad Yakub AK PhD dari Unit Kajian Humaniter & Pengungsi Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala.

Acara yang dipandu oleh peneliti ICAIOS, M Riza Nurdin PhD itu berlangsung selama dua jam dan dihadiri oleh lebih dari 50 peserta dari berbagai kalangan.

Baca juga: VIDEO Nelayan Aceh Dipenjara karena Tolong Rohingya di Laut, Istri Menangis Tiap Kali Anaknya Nanya

Baca juga: UNHCR Siapkan 10 Pengacara Dampingi Proses Hukum Pengungsi Rohingya dan Tiga Nelayan Aceh

Baca juga: Kepala Kesbangpol Aceh Ingatkan Nelayan jangan Terbujuk Mafia Penyelundup Rohingya

Fadhil Rahmi alias Syech Fadhil dalam diskusi tersebut menuturkan, hukuman 5 tahun plus denda 500 juta terlalu berat bagi seorang nelayan.

“Respon publik di tingkat bawah juga sama,” tutur senator asal Aceh ini.

Untuk diketahui, vonis tersebut dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Lhoksukon pada tanggal 14 Juni 2021 lalu.

Syech Fadhil bahkan mengaku sudah bertemu dengan anggota DPR-RI, Fadli Zon yang juga protes putusan tersebut.

“Bersama-sama dengan Bang Fadli Zon, kami komit mengawal kasus ini,” tutur Syech Fadhil.

“Tanpa mengurangi rasa hormat, saya berharap penegak hukum melihat sisi-sisi lain untuk menjadikan kasus ini lebih bermartabat,”

Anggota DPD RI asal Aceh, Fadhil Rahmi.  (For Serambinews.com)

“Faisal itu kan pion terdepannya. Sementara bidaknya, bantengnya, menterinya, rajanya mana? Itu secara pelanggaran hukum,” pungkas Syech Fadhil.

Dia juga melihat ada kekosongan hukum sehingga nantinya akan berupaya mendorong ada regulasi yang lebih kongkret pada tingkat nasional.

Rima dari Geutanyoe Foundation juga sependapat bahwa hukuman 5 tahun untuk komunitas nelayan kecil terlalu berat.

Putusan tersebut mengingatkannya dengan kasus serupa yang menimpa nenek-nenek yang kedapatan mencuri kayu dari perkebunan dan dihukum 2 tahun.

“Kalau dari sekedar perspektif hukum yang sempit, tentu saja perbuatan melanggar tersebut harus dihukum setimpal,”

“Tapi jika dilihat dari sudut pandang kemanusiaan, ada konteks di situ yang bisa meringankan,” sebut Rima.

Baca juga: Trauma, Santri Korban Cabul Dipindahkan ke Dayah di Langsa, Begini Modus Oknum Guru

Baca juga: Oknum Guru Dayah jadi DPO Polres Aceh Tamiang, Kabur Setelah Dilaporkan Kasus Cabul

Baca juga: Warga Karang Ampar Aceh Tengah Kritis Diinjak Gajah, Begini Kejadiannya

Sedangkan Hendra dari Kontras berpendapat jika nelayan di Aceh perlu diperkuat.

Yang perlu diantisipasi dari dampak kasus ini adalah kekhawatiran atau keengganan nelayan untuk menyelamatkan pengungsi atau Rohingya di tengah laut pada masa-masa mendatang.

“Pada saat ada nelayan yang menyelamatkan pengungsi di tengah laut, hati-hati anda akan di-Faisal-kan,” ungkap Hendra merujuk ke nama salah satu nelayan yang divonis bersalah.

Ia juga berharap supaya kedepan ada koordinasi yang lebih aktif antara nelayan dan Panglima Laot.

Terakhir, Dr Muhammad Yakub dari Fakultas Hukum USK berpendapat bahwa penyelundupan manusia tidak bisa dilepaskan dari isu pengungsi.

Ia memandang bahwa antara penyelundupan dan kemanusiaan ini saling berkaitan dan sulit dilepaskan.

Ia melihat stakeholder hukum menimbang banyak aspek termasuk kemanusiaan. Tapi hukum memang saklek, hitam di atas putih.

Ia melihat bahwa stakeholder hukum terkurung dalam pasal 120 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Namun Dr Muhammad Yakub berharap ada aspek lain yang lebih dominan dan membuka pandora pasal 120 tersebut.

Untuk menjadi pertimbangan stakeholder hukum dalam proses hukum tingkat berikutnya, dengan tidak saja melihat aspek positivistik.

Direktur Eksekutif ICAIOS Cut Dewi PhD mengatakan bahwa acara ini dilaksanakan untuk merespon isu terkini di Aceh atau Indonesia dalam bingkai akademis.

Hal ini sebagai proses belajar dan juga mendorong kebijakan publik yang lebih baik.

Baca juga: Penyebaran Varian Delta Asal India Makin Mengkhawatirkan Berbagai Negara

Baca juga: 2 Rumah Terbakar di Jeumpa Bireuen, Uang Jutaan dan Emas Juga Terbakar, Pemadam Salah Datangi Lokasi

Baca juga: Militer China Berkembang Pesat, AS Makin Khawatir, Ajakan Perjanjian Kontrol Senjata Ditolak

Salah satu luaran dari diskusi ini adalah usulan untuk penguatan regulasi, baik pada tingkat nasional atau daerah, seperti adanya Undang-Undang dan Qanun yang khusus mengurus pengungsi.(*)

Berita Terkini