Kemudian, pertama proyek tersebut ditangani oleh Dinas Perhubungan, Parawisata dan Kebudayaan Aceh Utara.
Lalu pada 2017 di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemkab Aceh Utara.
Untuk anggaran pembangunan proyek monumen itu bersumber dari APBN.
"Tahap pelaksanaan proyek itu awalnya tahun 2012 dengan pagu angggaran senilai Rp 9,5 miliar," sebut Diah.
Namun, sambung Diah Tahun 2013 berjumlah Rp 8,4 miliar, dan pada tahun 2014 senilai Rp4,7 miliar.
Lalu pada tahun 2015 mencapai Rp 11 miliar, tahun 2016 Rp 9,3 miliar dan tahun 2017 sekitar Rp 5,9 miliar.
Baca juga: Dideportasi dari Malaysia, Dua Warga Aceh Dipulangkan Besok
"Ini dikerjakan secara bertahap dari beberapa perusahaan," ungkapnya.
Diah Ayu menambahkan, setelah tim Kejari Aceh Utara melakukan penyelidikan sebelumnya ternyata kondisi bangunan monumen banyak yang tidak beres.
"Ada terjadi penurunan spesifikasi maupun rekonstruksi bangunan, itu dilakukan dengan cara adendum menjadi K250 yang seharusnya K500," terangnya.
Selain itu, lanjutnya, spesifikasi yang mereka turunkan juga ditemukan tiang-tiang penyangga itu bahkan ada yang K120, K140.
"Nah, maka bagaimana menahan beban tower setinggi 71 meter yang menjulang dari bawah ke atas. Itu sangat mengkhawatir apabila terjadi gempa akan mudah roboh, dan masih banyak kejanggalan lainnya yang didapatkan," pungkasnya.(*)
Baca juga: Masuk Aceh Tengah Harus Ada Surat Vaksin dan Antigen