Itu yang menjadi kekhawatiran kita. Kalau kita buka dokumen APBA, pendapatan didominasi oleh transfer pusat. Hanya 16 sampai 18 persen yang menjadi PAA (Pendapatan Asli Aceh), itupun dari pajak kendaraan bermotor dan biaya balik lama.
Sesekali dari sektor lain seperti retribusi. Jika kita nominalkan PAA itu hanya sekitar 2 atau 2,5 triliun rupiah, Sedangkan sisanya sekitar 85 persen itu transfer pusat, baik dari DAU-DAK, dana otsus yang paling besar, dan dana bagi hasil migas.
Pada tahun 2023, dana otsus tinggal 1 persen dari DAU nasional dan akan berakhir pada tahun 2027. Dalam APBA selama ini kontribusi dana otsus sangat besar yaitu sampai 8,5 triliun rupiah.
Tapi, sampai saat ini kita tidak melihat langkah-langkah kongkrit dan komprehensif yang dilakukan oleh eksekutif, tentunya juga bersama-sama dengan legislatif, untuk memperjuangkan keberlanjutan dana otsus.
Atau paling tidak ada upaya dari Pemerintah Aceh, termasuk DPRA untuk melakukan evaluasi menyeluruh terkait penggunaan dana otsus selama ini. Sehingga kita tahu apa persoalaannya dan itu menjadi kerangka pikir bagi kita untuk meyakinkan Pemerintah Pusat mengapa dana otsus itu penting bagi orang Aceh.
Tapi, kita tidak melihat langkah-langkah ke situ. Upaya yang dilakukan DPRA untuk mendiskusikan hal itu tidak mendapat sambutan hangat dari eksekutif. Saya kira, butuh kesamaan sikap dan pikir dari semua stakholder di Aceh. Sebab, yang mengalami dampak langsung dari ketidakharmonisan eksekutif dan legislatif adalah masyarakat.
Apakah peluang itu masih terbuka lebar?
Sangat terbuka lebar, hal itu sesuai hasil diskusi kita dengan Banleg dan beberapa fraksi di DPR RI. Secara politik, tidak ada ruang yang tidak terbuka. Yang paling penting adalah kesamaan sikap dan konsep, serta bergandeng tangan untuk memperjuangkannya. Saya pikir kita belum terlambat untuk perjuangkan agar dana otsus berlanjut. (*)
Simak video wawancara Eksklusif reporter Serambi On TV dengan Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin di SINI