Raja Radama I kemudian meninggal di usia 35 tahun pada musim panas pada 1828.
Menurut beberapa catatan sejarah seperti yang dilansir dari Notable Biographies, Raja Radama I sangat menderita sehingga dia nekat bunuh diri dengan menggorok tenggorokannya sendiri.
Posisi Ranavalona di kerajaan Madagaskar terancam.
Pangeran Rakotobe, putra dari saudara perempuan tertua Raja Radama I, adalah calon pewaris sah takhta.
Namun dalam sistem kepercayaan Malagasi, setiap anak yang mungkin dilahirkan bahkan setelah kematian Radama I, akan dianggap sebagai keturunannya sendiri.
Segera Ranavalona berusaha mengumpulkan pendukung untuk menjatuhkan agenda Pangeran Rakotobe.
Tujuan Ranavalona berikutnya adalah untuk menjadi penerus langsung takhta Kerajaan Madagaskar.
Untuk muncul sebagai pemenang takhta Kerajaan Madagaskar, Ranavalona menyebarkan desas-desus tentang pesan Tuhan tentang takdirnya dari rakyat jelata menjadi raja.
Adriamihaja, seorang perwira tentara muda, mendukungnya dalam misi dan kemudian menjadi menteri pertama di istana Ranavalona.
Dia mungkin adalah kekasihnya dan ayah dari putranya, Rakoto, yang lahir 11 bulan setelah kematian Raja Radama I.
Namun seiring waktu, Adriamihaja dieksekusi karena diam-diam menipu Ranavalona.
Ranavalona I menjadi ratu paling kejam
Pada 1829, Ranavalona mendeklarasikan dirinya sebagai ratu Madagaskar, sehingga membuatnya menjadi Ranavalona I.
Sebagai anti-Eropa yang keras, Ranavalona I menghapus reformasi yang dilakukan suaminya dalam upaya memodernisasi bangsa Madagaskar.
Dia mengusir para pedagang Eropa, guru, diplomat, dan kesepakatan perdagangan dengan Inggris serta Perancis segera dibatalkan.