Dari sebelum adanya kebijakan HET untuk seluruh jenis minyak goreng, harga masih tinggi meski barang ada.
Ketika pemerintah mengaturnya, barang menjadi langka.
Terakhir, setelah HET dicabut mesti khusus untuk kemasan, barang kembali membanjiri pasar.
"Ini aneh.
Barang ada tapi mahal, lalu murah tidak ada, ini pilihan pahit bagi konsumen.
Baca juga: MPU Aceh Minta Pemerintah Cari Solusi Soal Kelangkaan Minyak Goreng
Jadi ini dugaan kartel atau mafia," ujarnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pakuan Bogor, Iman Hilman, mengatakan, terdapat sejumlah faktor penyebab tidak efektifnya kebijakan minyak goreng.
Pertama, kegagalan pasar mengacu pada kondisi di mana mekanisme pasar tidak bekerja sehingga menciptakan ketidakefisienan di pasar.
Kedua, terjadi oligopoli pasar dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga.
Ketiga, minyak goreng termasuk barang yang tidak diatur tata niaganya dan harganya.
"Dalam kondisi seperti ini, akan sulit menerapkan kebijakan pengaturan karena sulitnya pengawasan di lapangan," katanya.
Faktor terakhir, yakni beberapa penelitian pun menunjukkan bahwa penerapan HET tidak efektif pada komoditas yang memiliki rantai tata niaga yang pangan.
Sementara itu, Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta dalam keterangan tertulisnya mengatakan, belajar dari kebijakan pemerintah soal harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng, tidak efektif dalam meredam kenaikan harga.
“Kementerian Perdagangan menggunakan DMO dan HET dalam pengendalian harga karena memang itu instrumen yang mereka punya.
Namun jika ada masalah lain, misalnya ongkos distribusi dan produksi yang memang meningkat, maka DMO dan HET semakin tidak efektif,” jelasnya.