Jurnalisme warga

Ketika Tambo dan Jingki Tak Lagi Berfungsi di Aceh

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

T.A.SAKTI, peminat manuskrip dan sastra Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

OLEH T.A.SAKTI, peminat manuskrip dan sastra Aceh, melaporkan dari Banda Aceh

Tradisi atau reusam suatu masyarakat tidak selamanya berlangsung secara menoton.

Ia selalu menyesuaikan diri selaras dengan perkembangan zaman.

Cepat atau lambatnya perubahan itu tergantung karakter dan lokasi tinggal masyarakat yang bersangkutan.

Wakil Bupati Aceh Besar, Waled Husaini memukul beduk pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Kota Jantho. (HUMAS PEMKAB ACEH BESAR)

Bagi masyarakat pedalaman, pergeseran budayanya bergerak lebih lambat.

Sementara bagi warga yang tinggal di pesisir perkembangannya lebih cergas dan praktis.

Itu yang terjadi pada masa lalu.

Namun sekarang, akibat perkembangan sarana transportasi yang meningkat dengan cepat dan teknologi informasi yang canggih, tampaknya telah membuat perubahan tradisi sudah sama antara wilayah pedalaman dan pesisir pantai.

Pada kesepatan ini, saya bermaksud menggambarkan dan meneropong beberapa tradisi bulan puasa yang berlangsung di Aceh selama 60-an tahun.

Ternyata reusam atau tradisi di bulan Ramadhan sudah amat jauh berbeda antara dulu dan sekarang.

Tradisi puasa tempo dulu

Jauh sebelum bulan puasa tiba, masyarakat Aceh tempo dulu telah mengemas diri menyongsong bulan mulia ini.

Baca juga: Gampong Juli Meunasah Tambo, Bireuen Bagi Perlengkapan Cegah Virus Corona untuk Warga, Ini Jenisnya

Baca juga: DPMG Fasilitasi Pengusulan Hak Paten Jingki Ie  

Semua kerja dipercepat, biar nanti lebih banyak waktu dapat digunakan untuk beribadah di bulan suci.

Pak tani yang belum selesai menanam di sawah, mempercepat mengolah tanah, lalu menanam padi.

Bagi yang di rantau biasanya pulang kampung di hari baik dan bulan baik ini ( puasa), hingga mobilitas manusia yang hilir mudik sangat meningkat.

1) Jingki penumbuk padi

Bagi kaum ibu tidak kurang pula repotnya.

Mereka lebih banyak berurusan dengan penyediaan konsumsi beras dan tepung yang mencukupi untuk tempo sebulan.

Di masa lalu, bukan main riuh-rendahnya suara “jingki” (jeungki) alat penumbuk padi.

Tingkah suaranya bagaikan gema nyanyian kodok di musim hujan.

Tambahan pula, biasanya dalam sebuah desa paling banyak jingki hanya dua-tiga buah saja, hingga hampir sebulan penuh sebelum puasa, jingki bertingkah mengupas padi terdengar bersahut-sahutan ke seantero kampung.

Baca juga: Jingki Ie Made In Cot Jrat, Pompa Air tanpa Listrik dan BBM untuk Sawah Tadah Hujan

Di samping mempersiapkan beras, kaum ibu juga menumbuk tepung (top teupong) untuk juadah (penganan) buka puasa.

Yang paling banyak ditumbuk adalah tepung ketan, karena kue-kue khas Aceh seperti timphan, timphan balon, boh rom-rom (klepon), dan lain-lain lebih banyak menggunakan tepung ketan (teupong leukat).

Bila Anda kebetulan naik bus dari Banda Aceh menuju Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut) menjelang bulan puasa, ”jemuran tepung” merupakan suatu pemandangan indah yang dapat Anda nikmati.

Putih-memutih bagaikan salju di sepanjang jalan raya.

Jemuran tepung itu bukan hanya dalam tikar yang dihamparkan di tanah, tetapi juga di atas atap rumah, di atas sebatang galah, dan di kebun kosong dipenuhi dengan jemuran tepung untuk kebutuhan puasa.

Dua hari sebelum mulai puasa disebut hari meugang (makmeugang) di Aceh.

Ada tiga kali hari meugang dalam setahun.

Yaitu, makmeugang puasa, makmeugang Idulfitri, dan Iduladha.

Pada hari makmeugang itu di setiap kampung/kota diadakan penyembelihan hewan ternak, baik lembu maupun kerbau.

Modal untuk membeli binatang sembelihan adalah secara meuripe (patungan) antara rakyat desa yang dikoordinasikan oleh kepala kampung (keuchik).

Bayarnya pun kadang-kadang setelah panen padi.

Sementara bagi masyarakat di kota kebanyakan membeli sendiri di pasar daging.

2) Tabuhan tambo bertalu-talu

Bila ketetapan awal puasa telah pasti, maka orang pun mulai menabuh beduk (peh tambo), sebagai pengumuman bahwa puasa dimulai esok hari.

Dari setiap meunasah (langgar/surau) suara beduk bertalu-talu.

Beduk di Aceh disebut tambo, dibuat dari kayu besar yang dilubangi bagian tengahnya sepanjang lebih kurang 2 meter.

Di salah satu ujung kayu yang berlubang itu dipasang kulit lembu sebagai landasan untuk ditabuh.

Saat pengumuman mulai puasa telah berlalu, semua warga laki-laki, baik tua maupun muda, berkumpul di meunasah.

Mereka mulai tadarus Al-Qur’an.

Kalau terasa haus, mereka minum ie bu (bubur beras encer -di Pidie) yang telah disediakan di serambi meunasah.

Tadarus Al-Qur’an berlangsung hingga waktu sahur.

Pada pukul 2 dini hari tambo mulai ditabuh kembali.

Ini merupakan kode bagi kaum ibu supaya bangun untuk mempersiapkan makanan sahur.

Sekitar pukul 03.30 WIB, sekali lagi giliran menabuh tambo.

Kali ini memberi aba-aba kepada kaum ibu supaya siap-siap untuk makan sahur dan kaum bapak akan segera turun dari meunasah pulang ke rumah masing-masing.

Lebih kurang pukul 05.00 WIB “dum-dum-bum” bunyi beduk terakhir.

Ini menandakan waktu imsak (menahan) dimulai.

Suara tambo yang terakhir ini juga sekaligus untuk memanggil umat Islam berjamaah Subuh.

Waktu buka puasa pun ditandai dengan tabuhan beduk.

Hadirin yang telah hadir di meunasah yang terdiri atas berbagai umur, termasuk anak-anak, duduk bersila di tikar lantai meunasah sambil menunggu waktu berbuka puasa tiba.

Salah seorang di antara mereka mendekati tambo (beduk).

Setelah jarum jam cocok dengan jadwal imsakiah Ramadhan, maka beduk pun berdentum-dentum di tiap desa.

Dengan demikan orang yang buka puasa di meunasah, dapat bersamaan waktunya dengan ibu rumah tangga yang berbuka di rumah setelah mendengar suara tambo.

Selesai buka puasa diteruskan dengan shalat Magrib berjamaah, baru setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing.

Setengah jam berikutnya, lagi-lagi suara tambo bertalu-talu mengajak muslimin/muslimat untuk shalat Tarawih.

Pengumuman hari Lebaran Idulfitri pun ditandai dengan suara tambo.

Namun kini, tambo dan jingki keduanya sudah nyaris tak ada lagi di Aceh.

Hanya nama tambo masih melekat pada sebuah kampung yang bernama Gampong Pulo Tambo, Kecamatan Tiro, Kabupaten Pidie, Aceh.

Sementara sebutan jingki juga masih menempel pada sebuah kampung di Kecamatan Peureulak Timu, Kabupaten Aceh Timur, yakni Gampong Jingki.

Bulan puasa dewasa ini

Bulan puasa Ramadhan sudah tiba kembali seperti tahun lalu juga.

Masyarakat Aceh sekarang tidak lagi menyambut bulan puasa dengan bersahaja.

Dendangan suara jingki dan dam-dum bunyi tambo tak meriuhkan kampung seperti masa dulu.

Jemuran tepung pun nyaris tak terlihat, baik di halaman rumah maupun di sepanjang jalan Banda Aceh–Medan.

Para petani tidak merasa risau lagi “turun ke sawah” pada bulan puasa.

Ini disebabkan segala urusan bertani sekarang bukan dikerjakan lagi dengan menguras tenaga fisik.

Segalanya diupahkan kepada pemilik alat mesin pertanian.

Mulai dari membajak sawah, menanam hingga memanen diongkoskan kepada orang kaya pemilik alat canggih itu.

Mungkin inilah salah satu sebab Aceh melekat sebagai provinsi termiskin di Sumatra.

Berkat kemajuan teknologi, tambo dan jingki sudah kadaluwarsa atau out of date.

Keduanya sudah tergantikan oleh toa pelantang suara dan pabrik penggilingan padi.

Dalam tahun 1980-an boleh dikatakan semua masjid dan meunasah di Aceh sudah memiliki toa pelantang suara.

Sementara sekarang, mesin penggilingan padi siap dipanggil untuk ke rumah kita masing-masing.

Keduanya telah menggantikan tambo dan jingki warisan endatu.

Semoga ada yang mengenangnya.

Baca juga: Program Sapa Umat, Kemenag Aceh Turunkan Tim Safari Ramadhan ke Daerah, Ini Jadwalnya

Baca juga: Ayo ke Gerai Vaksin Selama Ramadhan, Realisasi Vaksinasi Booster Masih Rendah di Nagan Raya

Berita Terkini