Oleh: Tarmizi A Hamid *)
SELALU menarik membaca ulasan-ulasan Profesor Ahmad Humam Hamid tentang perang Rusia Ukraina.
Selain memaparkan data-data dari berbagai sumber, dalam artikel serial di rubrik Kupi Beungoh Serambinews.com, Prof Humam juga mengemukakan pendapatnya secara objektif.
Ya sudah tentu dong, masak seorang profesor memaparkan pendapat secara subjektif dan tidak berimbang.
Tapi bagi saya, ada hal yang sangat unik dan menarik dari cara Prof Humam memaparkan data-data dan argumentasinya terkait perang di Ukraina.
Yaitu ketika Prof Humam mengaitkan data-data dan fakta perang di Ukraina itu dengan kehidupan di Aceh.
Uniknya lagi, contoh yang disebut oleh Prof Humam adalah nama orang, kampung, ataupun benda yang mikro, tapi bisa menarik pembaca di Aceh, untuk membaca secara tuntas, dan lebih mudah memahami, apa yang sedang terjadi di Ukraina, dan apa dampaknya untuk masyarakat Aceh.
“Ukraina, Puasa, dan Panteraja yang Menderita” adalah di antara judul yang menarik saya untuk membaca ulasan Prof Humam tentang invasi Rusia di Ukraina.
Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XVIII) - Ukraina, Puasa, dan Panteraja yang Menderita
Perang di Ukraina, apa pasar Panteraja yang menderita, begitu gumam saya saat membaca judul itu.
Dan memang benar semua terjawab tuntas setelah saya membaca artikel itu.
Dalam artikel itu, Prof Humam secara sederhana menjelaskan, bahwa di era globalisasi dan internetisasi serta berbagai macam sasi saat ini, telah membuat dunia bagaikan sebuah desa.
Di mana sebuah peristiwa di dusun atau RT dan RW, akan sangat mudah diketahui dan berdampak pada warga satu desa itu.
Dalam ilmu kanuragan tingkat tinggi, kondisi ini disebut dengan “teori globalisasi” yang penjelasannya penuh dengan kalimat “asi” atau “sasi” yang akan bikin masyarakat awam seperti saya akan pusing tujuh keliling.
Tapi Prof Humam memang bukan profesor “teorisasi” yang penjelasannya bikin mahasiswa cepat botak.
Prof Humam menjelaskan konsep abstrak “teori globalisasi” itu secara gampang dan tak perlu pikir panjang, apalagi sampai bikin kita ubanan.
Cara Prof Humam menjelaskannya sangat sederhana, “pergilah sejenak ke Keude Panteraja dalam beberapa hari ini, amati kehidupan nelayan, tanyakan apa yang sedang terjadi dengan mereka dalam 10 hari terakhir.
Ketika observasi selesai, tidak perlu catatan banyak kalimat, apalagi tulisan panjang.
Cukup dengan menulis sebuah kalimat. “Di Panteraja, harga kebutuhan pokok naik, BBM naik, dan solar subsidi untuk nelayan yang dulunya susah didapat, kini semakin lebih susah lagi.”
Ingin menghubungkan cerita warga Panteraja ini dengan kejadian di Ukraina?
Buka android, ketik Luhut, tambahkan koma, lalu tulis Ukraina, tekan enter.
Akan keluar berbagai berita tentang kenaikan BBM dan kaitannya dengan Perang Ukraina.
Prof Humam benar.
Saya memang tidak pergi ke Panteraja untuk mengecek apa yang terjadi di kampung tetangganya Trienggadeng dan Eumpang Mawa alias Pangwa ini.
Karena Panteraja itu jauh dari tempat saya di Banda Aceh, yakni sekitar 140 kilometer.
Maka, tak mungkin juga saya berjalan sepanjang 140 kilometer hanya untuk membuktikan kebenaran analisis
Prof Humam.
Apalagi di tengah harga BBM yang sedang mendidih perih saat ini.
Tapi saya memilih langkah yang lebih cepat dan mudah, yakni mengambil android, membuka Google Chrome, mengetik kata Luhut, tambahkan koma, lalu tulis Ukraina, dan kemudian tekan enter.
Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XVI) - Peringatan Untuk Biden, Putin, dan Tsar Bomba 50 Megaton
Benar saja, langsung tersaji berbagai berita tentang kenaikan BBM dan kaitannya dengan Perang Ukraina.
Kadang satu dua ada berita sumpah serapah publik terhadap Menteri Luhut, atau tudingan Menteri Luhut ambil untung dari perang Rusia Ukraina.
Dari Mi Razali, Canai Mamak, Kuala Batee, Hingga Cot Kafiraton
Prof Ahmad Humam Hamid memang bukan profesor “teorisasi” yang penuh dengan rumus-rumus atau kalimat-kalimat filosofis yang kerap menimbulkan kebingungan hingga perdebatan.
Tiga artikel lain dalam serial “Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3” juga mengupas tuntas tentang dampak perang Rusia di Ukraina terhadap kehidupan di Aceh.
Ketika artikel itu adalah “Kinzhal, Mie Razali, Canai Mamak, dan Stringer”, “Pax Americana, Kuala Batee, dan Ukraina” dan yang terakhir “Stratak Putin, PAHE, dan Cot Kafiraton”.
Cot Kafiraton yang diangkat Prof Humam pada seri ke-19 artikelnya tentang Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 ini, benar-benar nama yang asing bagi saya, mungkin juga banyak pembaca di Aceh.
Lagi-lagi Prof Humam membuktikan bahwa beliau bukanlah profesor yang hidup dalam perpustakaan, hanya bergelimang buku-buku dalam bahasa Inggris.
Istilah anak muda sekarang, Prof Humam bukan profesor kaleng-kaleng.
Setelah membaca artikel itu, saya baru tahu ternyata Cot Kafiraton itu adalah nama sebuah desa atau gampong di Kecamatan Seunuddon, Kabupaten Aceh Utara.
Untuk pembaca ketahui, Seunuddon ini adalah kampung asalnya mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf alias Mualem.
Nama Cot Kafiraton yang diangkat Prof Humam dalam salah satu judul “Serial Perang Ukraina” di rubrik Kupi Beungoh Serambinews.com, juga membuat publik mereka-reka sejarah dan asal muasal nama kampung itu.
“Jameun sang le that kaphe inong jiduek di gampong nyan. Maka jih geuboh nan ‘Cot Kafiraton’,” tulis seorang anggota Grup Peh Tem Soh yang bermukim di Malaysia.
Karena dalam bahasa Melayu, Cot itu bermakna bukit, sementara Kafiraton, mungkin bisa diartikan sebagai kafir perempuan, yang jika digabung maka Cot Kafiraton bermakna, bukit kafir perempuan.
Haha, ada-ada saja. Atau mungkin dulu ada yang iseng menyebut istilah itu, hingga menjadi nama sebuah kampung.
Alahom hai, yang pasti melalui Cot Kafiraton ini, Prof Humam berhasil memancing saya, mungkin juga Anda untuk membaca pendapat dan jalan pikirannya tentang invasi Rusia di Ukraina.
Tapi sayangnya, lagi-lagi, saya harus menguburkan keinginan untuk melihat langsung kondisi kehidupan masyarakat di Cot Kafiraton yang berjarak sekitar 320 kilometer dari tempat tinggal saya di Banda Aceh.
Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XIX) - Stratak Putin, PAHE, dan Cot Kafiraton
Jika di waktu normal, mungkin saya akan ambil mobil langsung balapan ke Cot Kafiraton yang berada ke arah laut dari pasar Pantonlabu di Aceh Utara.
Tapi saat ini kayaknya itu tak mungkin, lagi-lagi karena alasan BBM yang melambung tinggi.
Maka, saya harus menguburkan dulu keinginan untuk membuktikan kebenaran Prof Humam bahwa perkembangan teknologi digital telah membuat warga di Cot Kafiraton selalu update dengan situasi terkini yang sedang terjadi di Ukraina.
Prof Humam juga menyebutkan warga di Kuala Bubon, Aceh Barat, atau Sibigo Simeulue, Uyem Beriring, dan di Terangun, Gayo Lues juga sudah terlibat secara emosional ketika mengetahui bahwa presiden Ukraina itu Yahudi yang katanya ingin menjadikan Ukraina sebagai Israel Raya di Eropa.
Kisah Sambai On Peugaga dan Ceundoi Ustaz Samsul
Jika kemarin saya membuka android untuk mengecek kebenaran argumentasi Prof Humam tentang hubungan perang di Ukraina dengan Panteraja, maka kali ini saya memilih melakukan observasi ringan di Banda Aceh.
Agar menjadi Paket Hemat alias PAHE ala operasi Putin di Ukraina, observasi ini pun saya lakukan sambil mencari penganan berbuka puasa.
Lokasinya tentu yang paling ramai dan terkenal di Banda Aceh, yakni di Jalan Tengku Pulo Dibaroh atau kadang juga disebut jalan rujak Garuda.
Di sini, saya mulai membuktikan kebenaran kata-kata Prof Humam, bahwa perang di Ukraina mulai berdampak di Aceh.
Karena telah membaca ulasan Prof Humam, maka saya tidak kaget lagi ketika Kak Ni penjual Sambai On Peugaga bilang harga sambai telah naik, dari tahun lalu yang hanya Rp 5.000 per porsi, kini menjadi Rp 7.000.
Lalu saya berjalan lagi, kali ini dengan sasaran lapak martabak mesir Bang Kumis yang berada di sudut jalan tempat para penjual kelapa muda berjejer.
Alhamdulillah, tak ada yang berubah di daftar harga martabak mesir Bang Kumis. Angka Rp 25.000 untuk martabak spesial masih ditempel seperti biasanya.
Hanya saja, saya merasa martabaknya agak lebih tipis dari sebelumnya.
Tapi saya mengerti, selain karena harga minyak goreng yang melejit dan barangnya yang langka, juga karena harga gandum yang jadi salah satu bahan martabak ini biasanya diimpor dari Ukraina atau Rusia.
Terakhir, saya bergerak ke Lamprit, saya menuju ke jalan Ayah Hamid, yang merupakan salah satu akses menuju ke Masjid Oman Almakmur.
Sedikit berbagi cerita, Ayah Hamid yang namanya ditabalkan menjadi nama jalan ini adalah ayahnya Prof Ahmad Humam Hamid yang sedang kita ceritakan dalam tulisan ini.
Baca juga: Ukraina Minta Senjata Ke NATO Untuk Lawan Rusia
Pada masa prakemerdekaan, Ayah Hamid adalah salah satu ulama Aceh yang ditugaskan oleh pucuk pimpinan perang gerilya di bawah komando ulama-ulama Tiro, untuk melaksanakan jihad akbar yang bertugas memberantas kebodohan, kejahilan dan kemaksiatan.
Nah, di sudut Jalan Ayah Hamid ini lah Ustaz Samsul Falah berjualan aneka minuman olahan yang diklaim halal, sehat, dan diproduksi secara higienis.
Samsul Falah, pria berusia 48 tahun ini berasal dari Pasi Lhok, Kecamatan Kembang Tanjung, Pidie.
Istrinya adalah Fitri Yani asal Meureudu, Pidie Jaya.
Setiap harinya, di bulan Ramadhan atau pun bulan-bulan lainnya, Ustaz Samsul memacu becak motornya dari Peukan Bada, Aceh Besar, ke Masjid Oman Almakmur di Lampriek, Banda Aceh.
Selain agar dekat dengan tempat shalat dan pengajian, di sini pula Ustaz Samsul mendapatkan ladang rezekinya.
Ustaz Samsul sudah 14 tahun berjualan aneka minuman ini di Banda Aceh, dari harga Rp. 3.000 hingga sekarang yang sudah seharga Rp 8.000.
Ustaz Samsul tak mengatakan, kenaikan harga minuman produknya kali ini adalah yang paling tinggi dalam sejarah dia berjualan.
Setelah sekian lama bertahan di harga Rp 5.000, tiba-tiba sejak awal Ramadhan 1443 H kemarin, Ustaz Samsul dengan sangat terpaksa menaikkan harga minuman yang dijualnya ke angka Rp 8.000.
Kenaikan yang sangat fantastis, melebih 50 persen. Tapi ini terpaksa dilakukan karena semua harga bahan baku melambung tinggi sejak sebulan lalu.
Ustaz Samsul memang tidak secara langsung mengaitkan kenaikan harga minumannya dengan perang Rusia Ukraina.
Tapi yang pasti kenaikan harga BBM telah menjadi pemicu melambungnya harga-harga, termasuk harga bahan baku minimun produksi Ustaz Samsul.
Ustaz Samsul juga tak menampik jika kenaikan Rp 3.000 ini terbilang tinggi, sehingga beliau tanpa sungkan menyampaikan harga baru ini kepada pembeli dan pelanggannya, sebelum mereka membeli.
Baca juga: Putin, Ukraina, dan Perang Dunia 3 (XVII) - Pax Americana, Kuala Batee, dan Ukraina
Pak, atau Bu, harganya sekarang jadi 8.000, karena semua harga barang naik, maaf ya bu, begitulah Ustaz Samsul menyapa setiap calon pembeli, sebelum mereka bertransaksi.
Benar-benar sebuah jual beli yang jujur sejak awal.
Tapi, pelanggan beliau tetap rame. Karena memang minuman olahan Ustaz Samsul, tak hanya nikmat di mulut, tapi juga tidak menimbulkan efek buruk bagi badan.
Mungkin diolah dari air yang baik dan bahan-bahan berkualitas, serta mengutamakan kehalalan.
Rata-rata pelanggan Ustaz Samsul mengerti dengan kenaikan harga minuman ceundoi atau cendol, sari jagung, kacang hijau, kacang merah, dan soya di gerobak Ustaz Samsul Falah.
Saya lebih mengerti, karena telah duluan membaca serial tulisan Profesor Ahmad Humam Hamid yang berjudul “Ukraina, Puasa, dan Panteraja yang Menderita” serta “Stratak Putin, PAHE, dan Cot Kafiraton”.
*) PENULIS adalah Kolektor Manuskrip Aceh dan Budayawan Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI