Terkait Kebijakan Cuti Melahirkan Karyawan Perempuan Selama 6 Bulan, Pengusaha Merasa Dilematis

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

 


SERAMBINEWS.COM, JAKARTA - Cuti melahirkan 6 bulan bagi ibu bekerja yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak atau RUU KIA telah disepakati oleh DPR untuk dibahas lebih lanjut menjadi undang-undang.

Kesepakatan itu diambil dalam Rapat Badan Legislasi DPR pada 9 Juni 2022 lalu.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, aturan cuti melahirkan selama 6 bulan untuk istri dan suami menjadi dilema bagi pelaku usaha.

Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, di satu sisi, pengusaha ingin mendukung adanya kesempatan lebih luas bagi orang tua untuk menata kehidupan keluarga, dan mendampingi anak pada masa tumbuh kembang awal kehidupannya.

"Dengan adanya perluasan kesempatan ini, diharapkan pekerja bisa lebih fokus bekerja, lebih produktif, dan lebih loyal atau betah di perusahaan. Namun, tidak bisa kami pungkiri juga, bahwa perluasan hak cuti melahirkan bagi ibu maupun ayah memiliki dampak signifikan terhadap perusahaan," ujarnya.

Menurut Shinta, ini bukan hanya masalah peningkatan beban finansial atau biaya tenaga kerja, tapi juga beban non-finansial lain yaitu beban rekrutmen dan training tenaga pengganti.

Selain itu, beban manajemen mengatur adanya substitusi pekerja, beban peralihan tugas atau beban kerja dari pegawai cuti kepada rekan kerja yang memiliki fungsi tugas kurang lebih sama di perusahaan.

Baca juga: Tak Kunjung Dinikahi, Wanita di Kupang Gugat Pacar Rp1,4 Miliar, Sudah Punya Anak di Luar Nikah

Baca juga: Wakil Bupati Aceh Tenggara Buka Liga Santri Piala KASAD

Baca juga: Motif WNA China Tusuk Rekannya Pakai Pisau di Cengkareng, Pelaku Tuduh Korban Selingkuhi Istrinya

"Karena itu, saya rasa perlu ada pertimbangan matang dan objektif terkait manfaat dan beban dari kebijakan ini. Sebab, yang dilihat bukan hanya dari segi kesejahteraan sosial, tapi juga dari sisi produktifitas dan daya saing ekonomi nasional terhadap negara pesaing juga," katanya.

Lebih lanjut, dirinya merasa perlu ada keseimbangan yang baik serta prudent antara kepentingan kesejahteraan anak dan pekerja, dengan kepentingan produktifitas dan daya saing ekonomi nasional dalam memutuskan hak cuti bagi perempuan ketika melahirkan.

"Sebaiknya dibuat kajian lebih komprehensif. Kami harap pemerintah dan DPR bisa mempertimbangkan berbagai opsi dalam kebijakan perluasan hak cuti ini, khususnya opsi-opsic pembebanan hak dan kewajiban perusahaan ketika karyawan mengambil parental leave," pungkas Shinta.

Kepala Bidang Meeting Incentive Conference Exhibition (MICE) Kamar Dagang (Kadin) Indonesia Budiarto Linggowijono mengatakan, RUU KIA jika sudah disahkan menjadi Undang-undang dan kemudian diterapkan maka kalangan pengusaha akan memberikan win-win solution terhadap karyawan perempuan yang mengambil cuti melahirkan selama 6 bulan sesuai isi RUU tersebut.

"Solusi win-win bisa saja dibuat gradasi masa cuti yang disesuaikan dengan dengan jabatan, karena jabatan di operasional dan manajerial tentu berbeda risiko cutinya. Demikian pula soal gaji selama cuti, perlu disesuaikan dengan kondisi kesehatan finansial perusahaannya," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribun.

Lebih lanjut, Budiarto mengingatkan juga bahwa cuti setengah tahun tersebut merupakan batasan maksimum, bukan minimum.

"Belum ada detil angkanya dan masih jauh dari ketok palu. Wajar saja kalangan pengusaha khawatir kalau berlaku rata cuti 6 bulan bagi karyawan yang sudah berkeluarga," katanya.

Halaman
12

Berita Terkini