Pada tahun 1899 ia mencabut izin penelitian perusahaan PMSR-Petroleum Maatschappij Sungai Raja -, karena perusahaan yang telah mendapat izin itu belum melakukan penelitian.
Van Heustz mempunyai pandangan tersendiri dalam hal pembangunan ekonomi Aceh untuk mempercepat pasifikasi dan pemulihan keamanan.
Ia bahkan seolah mempunyai “politik ekonomi” Aceh yang unik yang kemudian berbenturan dengan kepentingan oligarki minyak yang menguasai perpolitikan Belanda.
Kali ini ketegasan Van Heustz berhadapan dengan KMEPNI-Koninklijke Maatschappij tot Exploitatie van Petroleum- bronnen in Nederlandsch-Indië,- atau tepatnya Maskapai Kerajaan untuk Eksploatasi Sumber-Sumber Minyak Tanah di Hindia Belanda.
Seperti ditulis oleh van’t Veer (1973) Koninklijke yang memperoleh berkah minyak di Langkat dan memberikan devidennya 46,5 persen kepada pemegang saham pada tahun 1896, tiba-tiba sumurnya menjadi kering.
Sementara itu perusahaan ini tidak mempunyai sumur cadangan.
Itu artinya perusahaan ini akan segera anjlok harganya di pasar saham, dan itu artinya kiamat bagi pemiliknya.
Pada tahun itu juga Koninklijke mengakusisi sumur minyak milik Holland-Perlak Petroleum Maatschappij yang belum berproduksi, karena kawasan Peureulak memang masih dilanda perlawanan rakyat melawan Belanda dan penyeludupan hebat.
Adalah seorang tokoh perlawanan di kawasan Idi dan Peureulak, Teungku Tapa yang membuat investor pertambangan minyak bumi tak mungkin melakukan eskplorasi, apalagi eksploitasi.
Padahal berita yang berkembang di Batavia dan Amsterdam menyebutkan di kawasan Rantau Panjang, minyak bumi bahkan muncrat keluar dari permukaan tanah.
Dalam sebuah ekspedisi yang dipimpin sendiri oleh Van Heustz pada 1898, dengan satu divisi marsose, dan satu batalyon infantri, dari Pidie ia bergerak menyusuri Aceh Utara dan Aceh Timur.
Ia segera mengamankan Idi, dan kemudian menggempur Teungku Tapa yang selanjutya menyingkir dari Peureulak ke tempat lain.
Van Heustz kini punya alasan menyalahkan hulubalang Peurelak, karena bersekongkol dengan Teungku Tapa.
Hulubalang Peureulak oleh Van Heustz diwajibkan membayar denda 150.000 dolar, dan di Pereulak kemudian ditempatkan pasukan Belanda.
Denda itu kemudian dibayar oleh Hulubalang Peureulak ketika dimulainya eskploitasi minyak bumi di wilayahnya.
Tak berlebihan kemudian, ia menjadi hulubalang terkaya di Aceh, karena pendapatan dari minyak bumi.
Koninklijke yang nyaris bangkrut mendapat izin eksploitasi şumur Rantau Panjang Peureuak dari Van Heustz pada akhir tahun 1899, dan hanya dalam tempo tujuh hari pengeborannya berhasil menemukan sumur minyak yang melimpah.
Koninklijke tidak hanya selamat, tetapi sahamnya di bursa segera meroket.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer (XI) Benarkah “Masa Emas Aceh” Iskandar Muda Sekedar Mitos?
Aceh Tak Layak Dikorbankan
Ketika haru biru berita gembira itu melanda Batavia dan Amsterdam, Van Heustz berpikir lain.
Ia menerawang, berpikir apa manfaat hasil minyak bumi yang melimpah itu untuk Aceh?
Van Heustz tahu Koninklijke mempunyai kilang refinary-penyulingan minyak di Pangkalan Berandan, Sumatera Timur, dan perusahan itu ingin mengalirkan minyaknya melalui pipa dari Peureulak ke Pangkalan Berandan untuk pengolahan selanjutya.
Ia tidak setuju.
Ia berprinsip Aceh harus mempunyai basis ekonomi yang kuat, dan itu artinya industri-seperti pengolahan minyak, dan perkebunan Eropa mesti beroperasi di Aceh.
Ia tidak hanya berargumen dengan pihak Koninklijke, tetapi juga menulis surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang keberatan itu.
Ia berpandanganAceh akan rugi besar kalau hasil minyaknya dibiarkan untuk diolah di tempat lain.
Dalam memori kepada Gubernur Jenderal, Van Heustz menulis Aceh tidak layak dikorbankan demi keuntungan besar sebuah perusahaan swasta.
Ia bahkan dengan tegas menyebutkan ia tidak mau berurusan dengan menjaga kepentingan-kepentingan yang tak biasa dari maskapai besar.
Van Heustz boleh saja hebat dalam berperang, dan sampai tingkat tertentu dalam pemerintahan.
Tetapi yang dia hadapi kali ini tidak biasa, koalisi politisi dan korporasi.
Dalam hal koneksi ke pusat kekuasaan Koninklijke bukanlah perusahaan kaleng-kaleng.
Manager lapangannya adalah Hugo Loudon, putera Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang membuat keputusan memerangi Aceh pada tahun 1873.
Loudon diketahui mempunyai kemenakan yang kebetulan menjabat sebagai kepala perundang-undangan Kementerian Wilayah Jajahan.
Tidak cukup dengan Hugo Laoudon, Koninklijke juga punya koneksi kuat di Den Haag dan Batavia.
Dua orang komisarisnya adalah bekas orang kuat Belanda yakni Van der Wijck, bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan ahli keuangan sekaligus mantan Menteri Jajahan, Sprenger van Eyk.
Oligarki itu bertambah kuat dengan dipegangnya jabatan Menteri Jajahan oleh bekas kampiun kolonial di Deli yang sangat memihak korporasi J.T Cremer, yang serta merta menyetujui proposal Loudon dan Koninklijke.
Van Heustz akhirnya kalah, dan terpaksa mengizinkan minyak Rantau Panjang Peureulak dialirkan untuk penyulingan sekalgus pemberian nilai tambah melalui pipa ke Pangkalan Berandan, di Sumatera Timur.
Van Heuszt mempunyai banyak wajah di Aceh.
Ia pembunuh dan pembantai paling keji di Aceh.
Ia adalah Gubenur Militer pertama yang mampu mengurangi api perlawanan sehingga investasi dapat berjalan dengan baik.
Ia juga pencipta perjanjian pendek -Korte Verklaring yang memaksa penguasa lokal mengakui wilayahnya sebagai bagian dari Pax Nederlandica.
Wajah Van Heustz yang lain adalah tentang komitmen dan realisasi yang dilakukannya terhadap konektivitas, infratstruktur, dan investasi modal asing.
Sekalipun dalam konteks penjajahan kolonial, apa yang ingin dilakukan Van Heustz adalah mempercepat Aceh masuk kedalam integrasi ekonomi global yang pada waktu itu sedang dimotori oleh kapitalisme industri.
Komitmen itu terbukti ketika ia melawan Batavia dan Den Haag yang membiarkan korporasi minyak bumi Koninklijke memberi nilai tambah minyak Rantau Panjang Peureulak bukan di Aceh, melainkan di Pangkalan Berandan, Sumatera Timur.
Ia mengimpikan Aceh mempunyai basis ekonomi tersendiri yang salah satunya adalah berbasis industri sumber daya alam yang dimilikinya.
Dan salah satu mesin besar yang mampu melakukan itu adalah penanaman modal asing.
Sayang ia kalah dengan oligarki minyak Belanda pada masa itu.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI