Mereka semua yang berjumlah 12 orang dicuriga karena kami membawa makanan.
“Kami dituduh memasok logistik untuk pasukan DI. Padahal makanan itu untuk kepentingan kami yang akan memanen padi di sawah,” ujarnya.
“Saat itu susah mencari makanan, belum banyak kedai yang berjualan seperti sekarang,” lanjut Muhammad Jamil.
Setelah diinterogasi, semua orang itu dikumpulkan dengan beberapa beberapa orang lainnya yang ditangkap secara terpisah.
Lalu kemudian mereka digiring ke pinggir laut.
Muhammad Jamil yang berperawakan kecil ditinggalkan karena dianggap masih anak-anak.
“Saat itu saya pakek celana pendek dan perawakan saya juga kecil, sehingga dianggap masih anak-anak,” kata M Jamil tersenyum kecut.
Baca juga: Melawan Lupa, Tragedi Jambo Keupok, Aceh Selatan
Dalam ketakutan itu, sekira setengah jam kemudian, M Jamil mendengar rentetan tembakan dari arah laut.
“Saya tetap berada di sini, hingga rombongan tentara itu kembali lewat dari pergi dari kampung kami,” ujarnya.
Setelahnya, M Jamil dan warga lainnya yang selamat dari aksi pembantaian itu menuju ke pinggir pantai dan mengevakuasi seluruh korban syahid untuk dikebumikan di pinggir pantai.
Sayangnya, saat ini tidak ada lagi bekas pertapakan atau prasasti yang mengingatkan akan peristiwa pelanggaran HAM pada masa lalu ini.
“Sudah tidak ada lagi kuburannya, sudah hancur diterjang tsunami tahun 2004 lalu. Areal itu pun kini sudah menjadi laut,” kata M Jamil seraya menunjuk jalan masuk ke pinggir pantai tempat peristiwa berdarah itu terjadi.
Tragedi Cot Jeumpa
Dikutip dari berbagai sumber, insiden berdarah di Cot Jeumpa adalah sebuah rangkaian peristiwa pembantaian masyarakat sipil oleh aparat TNI di Desa Pulot, Mukim Leupung dan Desa Cot Jeumpa Mukim Cot Jeumpa, di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar pada bulan Februari dan Maret 1955.
Pada peristiwa ini jumlah korban tewas mencapai 99 jiwa.
Baca juga: Rumoh Geudong dan Masa Depan Kita