Berita Aceh Besar

Kisah M Jamil yang Selamat dalam Insiden Cot Jeumpa yang Menghebohkan Dunia

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia, Zainal Arifin M Nur (kiri) dan Muhammad Jamil, satu dari sedikit warga Lhoong, Aceh Besar, yang menjadi saksi sejarah Peristiwa Berdarah pada Februari 1955 di Mukim Cot Jeumpa, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar

Kekesalan tentara sudah di ubun-ubun.

Anak-anak hingga kakek yang ditemukan di jalan atau tempat bekerja digiring ke pantai.

Peristiwa penembakan, banyak yang menyebutnya pembantaian, pertama kali terjadi pada Sabtu, 26 Februari 1955 yang dilakukan oleh Batalyon 142 terhadap 25 petani di Gampong Pulot Leupueng.

Penembakan kedua pada Senin, 28 Februari 1955 oleh Batalyon 142 terhadap 64 nelayan di Mukim Cot Jeumpa.

Sementara penembakan ketiga terjadi pada tanggal 4 Maret 1955 di Gampong Kruengkala.

Total, ada 99 orang yang syahid dalam ketiga peristiwa itu. Dengan rincian di Pulot Leupung 64 jiwa, Cot Jeumpa Lhoong 25 jiwa, dan Kruengkala Lhoong 10 jiwa.

Usia termuda yang meninggal yakni 11 tahun dan paling tua berusia 100 tahun.

Indonesia menutup rapat-rapat pembantaian warga sipil yang pertama dilakukan di Aceh oleh negara, hingga kemudian gempar karena pemberitaan Surat Kabar Peristiwa pada awal Maret 1955.

Terbongkar Berkat Laporan Acha

Achmad Chatib Ali atau sering disingkat menjadi Acha adalah sosok yang paling berjasa dalam mengungkap sebuah peristiwa pembantaian tersebut.

Pemimpin Redaksi Peristiwa Achmad Chatib Aly (sering disingkat menjadi Acha) melakukan investigasi yang luar biasa.

Koran yang terbit di Jalan Merduati Nomor 98 Kutaradja itu menjadi tumpuan warga untuk mengetahui hal-hal yang coba disamar-samarkan oleh aparat.

Kala itu, militer Indonesia memblokir jalan ke Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Tapi Acha tidak kehilangan akal.

Ia menyewa boat nelayan dan melakukan perjalanan ke lokasi kejadian melalui jalur laut.

Acha pun dengan sangat baik menunaikan tugas jurnalistiknya.

Baca juga: Negara Akui Tragedi Simpang KKA Sebagai Pelanggaran HAM Berat, Begini Kisah Kelam Tahun 1999

Seminggu kemudian, Peristiwa edisi 3 Maret 1955 memuat laporan bernas di halaman satu dengan judul “Bandjir Darah di Tanah Rentjong”.

Peristiwa edisi 10 Maret 1955 mencantumkan daftar warga yang ditembak oleh Batalyon 142, Peleton 32 dengan memakai senjata Bren, 2 mobil, 2 jeep, 2 truk.

Laporan investigasinya yang dimuat di Harian Peristiwa yang terbit di Kutaraja (Banda Aceh), membuat dunia heboh.

Laporan tersebut kemudian secepat kilat menjadi santapan dunia internasional.

Beberapa harian yang terbit di Jakarta seperti Indonesia Raya dan media terbitan luar negeri sepeti New York Times, Washington Post yang terbit di Amerika Serikat atau Asahi Simbun yang terbit di Jepang ikut mengutip laporan tersebut.

Warga Aceh di Jakarta melancarkan protes keras kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo agar mengirim misi menyelidiki kasus itu.

Sosok Acha dengan karya jurnalistiknya yang mumpuni telah membuka mata dunia tentang tragedi pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh dalam peristiwa berdarah di Pulot dan Cot Jeumpa, Aceh Besar.

Laporan investigasi Harian Peristiwa ini membuat Hasan Tiro meradang.

Hasan Tiro yang kala itu berstatus mahasiswa di Amerika Serikat dan bekerja paruh waktu di Misi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai eksekusi massa itu adalah genosida.

Hasan Tiro yang dicabut paspor diplomatik Indonesia pada tahun 1954 membuat laporan resmi tentang kasus-kasus kekerasan militer Indonesia di Aceh kepada PBB.(*)

Baca juga: Melawan Lupa Rumoh Geudong

Berita Terkini