Partai-partai ini akan menarik diri dari kabinet ini jika Natsir bersikap mempertahankan provinsi Aceh.
Sebagaimana diketahui, partai-partai ini pada awalnya sangat menentang kehadiran Provinsi Aceh.
Maka, Natsir kemudian mengambil jalan tengah, dengan membentuk “de facto” Provinsi Aceh.
Sebagai langkah selanjutnya ia mengirimkan Assat menjumpai tokoh-tokoh Aceh, yaitu Abu Bereu’eh.
Namun hasilnya semakin bertambah panas dan semakin tegang, karena Assat membawa pesan jika provinsi Aceh tetap akan dibubarkan.
Untuk menenangkan keadaan, Natsir kemudian mengutuskan Wakil Presiden, Moh. Hatta, yang mencoba mengadu nasib dalam pertarungan yang sedang terjadi dan memanas ini.
Sayangnya pertemuan dengan Hatta sebagai Wakil Presiden berakhir dengan ricuh.
Dengan spontan Tgk. Muhammad Daod Beureu’eh naik ke atas pondium.
Di hadapan Hatta, ia berujar dengan nada keras dan tegas, antara lain ia mengatakan, “Apabila tuntutan Provinsi Aceh tidak dipenuhi, maka kita akan pergi ke gunung membangun Negara dengan cara-cara sendiri.”
Lalu disusul oleh Zaini Bakri, Bupati Aceh Besar, “Jika Provinsi Aceh dihapuskan, maka pukul 7.15 kita akan meletakkan jabatan dan semua pengawai akan berhenti bekerja”.
Gagalnya usaha-usaha pejabat tinggi pusat ini, semakin membuat politik di Aceh, tensinya memanas dan hubungan dengan pusat semakin tegang.
Baca juga: Polres Aceh Besar Tangkap Pelaku Judi Online, Terbukti Simpan Chip 27B
Sementara di sisi lain, sisa-sisa Uleebalang yang tinggal di luar Aceh, seperti Medan dan Jakarta, mulai menyusun kekuatan dan jika suatu waktu diperlukan akan menyerang kelompok PUSA ini.
Kelompok feodal ini, dari sejak awal sudah menentang hadirnya Provinsi Aceh dan bersikap anti PUSA.
Kampaye yang dimainkan oleh kelompok Uleebalang ini adalah segera menghukum pelaku kejahatan saat perang Cumbok terjadi.
Karena banyak dari kelompok Uleebalang yang telah dibunuh dalam tragedi revolusi sosial tersebut, dirampas hartanya, dan diusir dari daerahnya.
Alasan ini dinilai sangat politis, karena kelompok Uleebalang tersebut menyimpan dendam terhadap ulama PUSA dan Masyumi.
Namun demikian usaha Natsir dalam menenangkan rakyat Aceh tidak berhenti di situ.
Dalam kunjungannya ke Aceh, pada 22 Januari 1951, dalam pertemuan dari hati ke hati tersebut dengan pempimpin Aceh, akhirnya dapat menyetujui bahwa otonomi untuk Aceh akan diperjuangkan secara “integral dan menurut saluran perundang-undangan”.
Baca juga: Pensiun dari Polisi, Untung Sangaji Pilih Terjun Dunia Politik dan Maju DPRA dari Partai NasDem
Namun demikian, rakyat yang sudah kecewa, pupus harapan, rasa geram melimuti hati sanubari, tetap menganggap Pemerintah Pusat tidak menghargai jasa Aceh sebagai “Daerah Modal”.
Demikian juga dengan Masyumi yang dianggap tidak sungguh-sungguh memperjuangkan kehendak rakyat untuk mengatur provinsi sendiri sampai akhirnya dibubarkan.
Kritik Terhadap Helmy Nugraha Hakim
Di akhir artikel ini, penulis menyimpulkan, apa yang dikatakan oleh Helmy Nugraha Hakim bahwa Soekarno atau Bung Karno tidak terlibat dalam pembubaran Provinsi Aceh, adalah sesuatu yang tidak mendasar.
Helmy mencoba untuk mengaburkan fakta sejarah sebagaimana yang telah penulis sampaikan di atas dengan bersembunyi di bawah ketiak Bung Karno sebagai tokoh proklamator.
Peryataan Helmy dapat diintepretasikan sebagai bentuk dukungan terhadap Soekarno dan telah menyudutkan tokoh lain.
Maka itu, persoalan utama di balik kritik yang dilakukan Helmy Nugraha Hakim, adalah tidak terletak pada tuntutan terhadap kebenaran sejarah secara ilmiah dan akademik, melainkan lebih bersifat kepada “politik sejarah”, yang memunculkan perasaan dendam, kebencian, egoisme atau kecintaan berlebihan terhadap sesuatu (Bambang Purwanto; 15).
Dan selanjutnya, apa yang telah dilakukan Helmy Nugraha Hakim juga pernah dilakukan oleh Nugroho Notosusanto dalam menulis buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) mulai dari jilid 1 sampai dengan jilid 6 yang diperuntukan untuk anak-anak SMA masa itu.
Banyak dari isi buku tersebut yang dinilai tidak sesuai dan relevan datanya dengan zaman sekarang, misalnya dengan menyebutkan Indonesia dijajah Belanda selama kurun waktu 350 tahun lamanya.
Baca juga: Aceh dan Kepemimpinan Militer XVI - Daud Beureueh: Kecewa dan Berontak
Padahal Aceh pada waktu itu masih berstatus sebagai negara yang berdaulat dan merdeka dari Belanda, dan banyak contoh lain yang tidak lagi penulis sebutkan, khusunya data-data pada masa Orde Lama.
Jadi rekontruksi sejarah yang dibangunkan dalam SNI tersebut adalah untuk legitimasi kekuasaan, menyatakan diri paling benar dan yang lain salah atau mereka yang pantas disebut sebagai pahlawan, sementara yang lainnya disebut pecundang.
*) PENULIS adalah dosen Sejarah Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI