Seorang petugas polisi, yang tidak mau disebutkan namanya, mengatakan kepada kantor berita Prancis AFP bahwa "seluruh kota telah berubah menjadi medan pertempuran."
Di daerah Uttara, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan ratusan pengunjuk rasa yang memblokir jalan raya utama. Sedikitnya 91 orang tewas di seluruh negeri, kata polisi dan dokter.
Ada "setidaknya 14 polisi" di antara mereka yang tewas dan 300 petugas lainnya terluka, kata juru bicara polisi Kamrul Ahsan.
Pada hari Minggu (04/08), pemerintah juga mengumumkan hari libur dari Senin hingga Rabu.
Pengadilan akan ditutup tanpa batas waktu. Layanan internet seluler terputus, dan Facebook serta aplikasi perpesanan, termasuk WhatsApp, tidak dapat diakses.
Seruan PBB
Kepala hak asasi manusia PBB, Volker Turk, mengatakan pada hari Minggu (04/08), bahwa "kekerasan yang mengejutkan" di negara Asia Selatan tersebut harus dihentikan.
Ia juga mendesak pemerintah untuk berhenti menargetkan para pengunjuk rasa yang tak terlibat aksi kekerasan.
"Saya mendesak para pemimpin politik dan aparat keamanan untuk mematuhi kewajiban mereka dalam melindungi hak untuk hidup, dan kebebasan berkumpul dan berekspresi secara damai," ujar Turk.
"Pemerintah harus berhenti menargetkan mereka yang berpartisipasi secara damai dalam gerakan protes, segera membebaskan mereka yang ditahan secara sewenang-wenang, memulihkan akses internet secara penuh, dan menciptakan ruang yang kondusif untuk berdialog," tambah pejabat PBB tersebut.
"Upaya yang terus berlanjut untuk menekan ketidakpuasan rakyat, termasuk melalui penggunaan kekuatan yang berlebihan, dan penyebaran informasi yang salah serta hasutan untuk melakukan kekerasan, harus segera dihentikan."
Faktor yang memicu gelombang pengunjuk rasa
Unjuk rasa mahasiswa meletus hampir dua bulan yang lalu, mereka memprotes sistem kuota yang telah berlangsung lama untuk pekerjaan sektor publik yang dianggap hanya menguntungkan keluarga dan keturunan mantan personil militer yang berjuang untuk kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan pada tahun 1971.
Pemerintah telah menangguhkan sistem kuota tersebut, tetapi sebuah gugatan di pengadilan membuka jalan bagi sistem ini untuk diberlakukan kembali hingga sebuah keputusan dari Mahkamah Agung memerintahkan agar kuota untuk mantan anggota militer dikurangi dari 30 persen menjadi 5 % .
Mahkamah memutuskan bahwa 93 % pekerjaan harus dialokasikan berdasarkan prestasi, dengan 2 % sisanya disisihkan untuk kelompok minoritas.