Dewi Suryani Sentosa, Dosen Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Tim Atsiri Research Center
QANUN Aceh Nomor 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan Lembaga keuangan syariah dalam rangka mewujudkan ekonomi yang adil dan sejahtera untuk masyarakat Aceh. Sejak penerapannya, perkembangan kinerja Lembaga Jasa Keuangan (LJK) di Aceh terus tumbuh dan stabil sejak Tahun 2022. Entitas LJK sendiri terdiri atas 13 BUS/UUS serta 14 BPR/S, 55 perusahaan IKNB (terdiri atas perusahaan pembiayaan, asuransi, pegadaian, BPJS, LKMS, Dana Pensiun, Modal Ventura, sampai dengan perusahaan penjaminan), serta dari entitas pasar modal juga terdapat perusahaan sekuritas.Namun, lembaga Keuangan di Aceh memiliki peluang dan tantangan dalam menerapkan Qanun LKS ini, salah satunya minat perbankan yang rendah dalam menyalurkan pembiayaan pada sektor pertanian karena tingginya risiko yang harus dihadapi.
Padahal Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk sektor pertanian memiliki persentase yang tinggi selama empat tahun berturut-turut di Aceh. Laporan OJK menyatakan bahwa PDRB Aceh didominasi sektor pertanian dan perikanan dengan porsi sebesar 30,71 persen.
Sedangkan pada pembiayaan di sektor pertanian masih rendah selama empat tahun berturut-turut dari 2020-2023. Perbankan Aceh posisi semester 1 tahun 2023 masih di dominasi oleh pembiayaan konsumtif sebesar 69,05 persen. Artinya, pihak perbankan kurang menaruh perhatian pada sektor pertanian di Aceh. Hal ini menjadi ketimpangan PDRB Aceh dengan Pembiayaan Sektor Pertanian.
Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perbankan yang diberikan kepada masyarakat untuk sektor pertanian hanya diperuntukkan untuk usaha yang sudah berjalan dan memiliki cash flow terukur dan dapat diandalkan. Padahal usaha pada sektor pertanian perlu dirintis terhadap sumber ekonomi baru. Sedangkan sistem keuangan keberlanjutan untuk pertanian belum memadai, pembiayaan perbankan di sektor pertanian rendah, belum adanya asuransi pertanian syariah di Aceh.
Nilam terbaik
Komoditas unggulan nilam Aceh merupakan sumber ekonomi baru dan akselerator yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi daerah di Aceh. Komoditas nilam telah lama menjadi bagian penting dari perekonomian Aceh. Ekosistem minyak Nilam di Aceh juga merupakan ekosistem yang lengkap mulai dari tanahnya yang dapat menghasilkan nilam terbaik di dunia bahkan diakui sejak zaman penjajahan Belanda. Terdapat potensi besar nilam yang dapat dioptimalkan lebih lanjut. Indonesia telah tercatat sebagai pemasok terbesar kebutuhan minyak nilam dunia yaitu sekitar 85?ri konsumsi tahunan pasar global atau sekitar 2000 ton per tahun.
Aceh berkontribusi besar terhadap minyak nilam, sebanyak 80 % minyak nilam Aceh dapat diekspor dan sisanya dapat dibuat menjadi produk turunan nilam seperti sabun, parfum, lilin, skin care, body care, medicated oil dan produk turunan lainnya. PT U Green Aromatic Internasional dapat menampung minyak nilam petani untuk diekspor. Perusahaan tersebut sudah 21 kali ekspor namun permintaan minyak nilam dunia masih belum dapat terpenuhi seluruhnya. Prancis sendiri meminta minyak nilam Aceh untuk dapat diekspor sebanyak 2 ton dalam sebulan. Namun perusahaan baru mampu memenuhi 500 kg dalam 2 bulan.
Prospek ekonomi dari ekosistem nilam Aceh semakin diyakini karena dalam 10 tahun terakhir, harga minyak nilam per kilogram mengalami peningkatan dari Rp300.000 menjadi Rp1.900.000. Bahkan Willem Spoon pada 1932 dalam bukunya "Atjeh Patchouli-Olie" mengungkapkan bahwa minyak nilam Aceh memiliki kualitas yang sangat tinggi dan sangat dicari oleh pasar dunia.
Sektor pertanian di Aceh, dengan langkah awal sektor atsiri, seharusnya didukung oleh perbankan dan lembaga penjamin. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, porsi pembiayaan untuk industri minyak atsiri terhadap total pembiayaan di Aceh yaitu sebesar 0,01 persen dari 2018 hingga 2021, 0,02 persen pada 2022, 0,01 persen pada 2023 dan 0,0o persen pada 2024. Adapun sektor pembiayaan sektor pertanian secara keseluruhan di Aceh pada 2023 adalah sebesar 5 % .
Penataan regulasi
Sektor pertanian memiliki kendala kebijakan, kelembagaan, akses keuangan. Pola pengawasan dan koordinasi yang dimiliki OJK belum mampu menjawab salah satu fungsi OJK yaitu menyelenggarakan sistem keuangan terhadap seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan. Perlu adanya strategi untuk meningkatkan perlindungan kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
Perbankan dapat melahirkan terobosan baru untuk dapat meningkatkan minat masyarakat terhadap jasa lembaga keuangan syariah. Pemerintah dapat berkontribusi dengan melakukan penataan regulasi agar penerapan qanun ini lebih terarah. OJK dapat menyesuaikan kebutuhan nasabah dengan melakukan inovasi terhadap produk-produk keuangan. LJK dapat memenuhi kebutuhan permodalan baik pengusaha maupun bagi masyarakat yang membutuhkan modal.
Strategi tersebut dapat dilakukan dengan menggalakkan perusahaan asuransi syariah di Aceh untuk menerbitkan produk penjaminan untuk sektor pertanian. Komoditas unggulan nilam dapat dijadikan sasaran penerapan produk ini sebagai langkah awal kontribusi keuangan pada sektor pertanian. Produk penjaminan yang diterbitkan perusahaan asuransi syariah dapat diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan Kantor Pusat untuk didukung penerapannya. Selain itu, pemerintah dapat berkontribusi dalam mendukung perluasan inklusi keuangan daerah dengan membuat kebijakan alokasi belanja negara.
Dalam laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), realisasi pendapatan Aceh pada tahun anggaran 2023 mendapat Rp 10,5 triliun atau 101.29 persen dari target sebesar Rp 10,36 triliun. Sedangkan belanja Aceh direncanakan Rp 11,62 triliun lebih dan realisasinya Rp 11,35 triliun lebih atau 97,7 persen. Sementara, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SilPA) Tahun Anggaran 2022 realisasinya Rp 1,30 triliun lebih. Pemerintah perlu menciptakan alokasi budget tahunan untuk mendukung industri nilam khususnya mitigasi risiko pembiayaan perbankan melalui asuransi pertanian.