Setelah menempuh pendidikan di negara berjuluk Kebun Allah tersebut, Abu Razak kembali pulang ke Tanah Rencong, sementara Mualem melanjutkan tugasnya sebagai pelatih di Libya. “Saat saya pulang (ke Aceh), Mualem masih lanjut melatih (di Libya) ada leting lagi di bawah saya. Sampai tahun 1990 baru sama-sama pulang ke Aceh, Mualem di kawasan Aceh Utara Pase, dan saya di Pidie,” ujarnya.
Selama berjuang di kawasan Pidie, Abu Razak turut mendampingi sejumlah tokoh GAM seperti Keuchik Uma, Pawang Rasyid, dan Tgk Abdullah Syafii.
Dalam perjalanan waktu, Aburazak kemudian menjadi Panglima Pidie menggantikan Pawang Rasyid yang wafat pada 1998. Dua tahun kemudian, Panglima GAM Abdullah Syafi’i mengangkatnya menjadi komandan operasi untuk seluruh Aceh.
Bersama Teungku Abdullah Syafi’i dan Muzakir Manaf (Mualem) yang waktu itu menjabat sebagai wakil panglima GAM, Abu Razak yang berposisi sebagai komandan operasi, memimpin gerilya berdasarkan arahan Wali Neugara Tgk Hasan Tiro. “Wakil saya waktu itu Nek Tu (Ridwan Abu Bakar),” ungkapnya.
Sepeninggal Abdullah Syafi’i, Muzakir Manaf diangkat menjadi Panglima GAM, dan Abu Razak masih tetap berposisi sebagai Komandan Operasi. Mereka tetap bersama-sama naik turun gunung. Jelang damai, Abu Razak ditunjuk sebagai wakil panglima GAM untuk memudahkan konsolidasi pasukan dan mendukung proses reintegrasi.
Kebersamaan Abu Razak dengan Mualem terus berlanjut pada era damai Aceh. Ia kerap mendampingi Mualem dalam berbagai jabatan, mulai dari menjadi Sekjen DPP PA, Ketua Harian KONI Aceh, hingga menjadi Sekjen Komite Peralihan Aceh (KPA). “Alhamdulillah hubungan saya dengan Mualem sampai saat ini masih baik, dan setelah damai beberapa jabatan kami emban bersama sampai sekarang,” pungkasnya.(rianza alfandi)