Salah satu upaya stabilisasi volatilitas harga cabai adalah memanfaatkan surplus produksi sebagai bahan baku produk olahan cabai.
Pada umumnya olahan cabai dapat berupa cabai kering, cabai bubuk, minyak cabai, atau pasta.
Cabai yang telah diolah memiliki nilai tambah lebih dan daya simpan yang lebih lama.
Misalnya, harga cabai kering dari India dapat dijual berkisar Rp700-900 ribu perkarung (9kg) tergantung pada kualitas cabai.
Selain itu, cabai kering juga dapat bertahan hingga 3 tahun.
Produk tersebut diharapkan dapat menjadi substitusi kebutuhan cabai segar terutama untuk industri makanan serta rumah makan dan khususnya untuk program Makan Bergizi Gratis.
Selain menjadi alat stabilitasi harga cabai, prospek bisnis cabai olahan juga cukup menjanjikan.
Selain sebagai bahan pangan Makan Bergizi Gratis, potensi bisnis cabai juga sangat baik di Aceh.
Selera masyarakat Aceh yang menyukai rasa pedas membuat permintaan cabai dan cabai olahan relatif tinggi.
Terhitung pada 2023 konsumsi cabai segar di Aceh sebesar 17.113 ton perbulan dan rata-rata konsumsi cabai olahan (sambal jadi) sebesar 0,41 kg perkapita pertahun.
Selain itu, untuk pasar di luar Aceh, misalnya wilayah Sumatera, permintaan cabai olahan juga cukup tinggi, hal ini tercermin dari nilai impor cabai olahan di Sumatera (cabai kering dan cabai bubuk), yaitu USD10,93 juta sepanjang Januari hingga Oktober 2024 dan USD17,86 juta pada sepanjang tahun 2023.
Hal tersebut menunjukkan potensi permintaan cabai olahan cukup baik sehingga hilirisasi cabai di Aceh harus dimanfaatkan.
Akan tetapi, salah satu tantangan hilirisasi cabai adalah kontinuitas pasokan dan volatilitas harga bahan baku produksi yang berkualitas.
Produksi bahan baku yang tidak merata sepanjang tahun di Aceh menjadi tantangan industri pengolahan pertanian di komoditas apapun.
Terlebih, cabai hanya memiliki ketahanan 4-5 hari apabila hanya disimpan di suhu ruang sehingga membutuhkan proses yang cepat atau ruang penyimpanan yang baik.