"Tak kalah pentingnya adalah langkah mitigasi pengelolaan populasi dengan pendataan dan monitoring populasi dengan survei berkala jumlah buaya," ujar Saiful Umar.
Lalu relokasi buaya yang sudah terbiasa mendekat permukiman.
Pengaturan habitat dengan menjaga keseimbangan rantai makanan, misalnya melarang perburuan biawak dan predator alami lainnya.
Sedangkan mitigasi jangka panjang antara lain program ekowisata buaya dengan mengubah potensi buaya menjadi aset wisata edukasi, sehingga masyarakat mendapat manfaat ekonomi sambil menjaga jarak aman.
Menerapkan zona larangan aktivitas di beberapa muara atau segmen sungai yang dijadikan konservasi buaya tanpa akses manusia.
Baca juga: Lokasi Penangkaran Buaya di Aceh Singkil Bisa Jadi Atraksi dan Solusi
Pembuatan regulasi daerah khusus yang mengatur tata cara hidup berdampingan dengan satwa liar.
Terakhir Saiful Umar, mengemukakan solusi yang dapat dilakukan, yaitu menjaga rantai makanan dan ekosistem.
Tujuannya mengembalikan keseimbangan ekologi sehingga buaya tetap berada di habitat alaminya dan tidak terdorong mendekat manusia.
Menjaga ketersediaan mangsa alami dengan pembatasan penangkapan ikan berlebihan (overfishing) di wilayah sungai, rawa dan laut yang jadi habitat buaya.
Lestarikan populasi satwa mangsa (ikan, burung air, reptil kecil) dengan pengaturan alat tangkap dan musim tangkap.
Perlindungan habitat dengan melindungi rawa, hutan mangrove, dan tepian sungai dari alih fungsi lahan.
Baca juga: Singkil Lama, Jejak Jalur Rempah Dunia yang Kini Jadi Habitat Buaya
Rehabilitasi habitat rusak dengan penanaman kembali mangrove atau vegetasi tepi sungai.
"Bila populasi buaya terlalu tinggi atau sering muncul di pemukiman, dilakukan pengendalian aktif," tukasnya.
Salah satunya dengan pembuatan pusat penangkaran (rescue center) di lokasi aman jauh dari permukiman.
Bisa juga dengan melakukan penangkaran semi alami.
Model ini dilakukan dengan penangkaran buaya di area luas menyerupai habitat asli, digunakan untuk wisata edukasi, penelitian, dan menjaga stok genetik. (*)