Mitigasi dalam konteks ini adalah upaya untuk mencegah dampak negatif dari konflik manusia lawan buaya, baik sebelum, saat, maupun setelah terjadi.
Laporan Dede Rosadi I Aceh Singkil
SERAMBINEWS.COM, SINGKIL - Konflik manusia versus buaya di Kabupaten Aceh Singkil, terjadi sejak tahun 2007.
Untuk mencegah hal itu terus terulang maka diperlukan mitigasi untuk kurangi risiko konflik manusia dengan buaya.
Mitigasi dalam konteks ini adalah upaya untuk mencegah dampak negatif dari konflik manusia lawan buaya, baik sebelum, saat, maupun setelah terjadi.
Mencakup berbagai tindakan seperti pencegahan, pengurangan risiko, dan kesiapsiagaan.
Langkah mitigasi tersebut dipaparkan Kepala Dinas Perikanan Aceh Singkil, Saiful Umar.
Antara lain pemetaan lokasi rawan buaya yang dapat dilakukan BKSDA, Dinas Perikanan, dan pemerintah desa.
Baca juga: Fakta-Fakta Populasi Buaya di Aceh Singkil Tinggi
Setelah itu ditindak lanjuti dengan pemasangan papan peringatan.
Berikutnya sosialisasi berkala prilaku aman, seperti tidak mandi dan mencuci di lokasi yang sudah terpantau ada buaya.
Lalu menghindari aktivitas jam aktif buaya di tepi sungai saat pagi dan sore.
Kemudian pelatihan penanganan darurat, tentang prosedur evakuasi korban dan melapor ke petugas.
Upaya mitigasi selanjutnya pemasangan pagar/pembatas di titik pemandian umum atau pelabuhan rakyat, agar buaya tidak masuk area aktivitas manusia.
Pemasangan lampu penerangan di area rawan, untuk mencegah aktivitas diam-diam buaya di malam hari di sekitar dermaga atau lokasi tambatan perahu.
Baca juga: Demi Lihat Buaya Singkil, Petualang Eropa Rela Terbang Lintas Benua
Pembuatan tempat pembuangan bangkai ternak terpusat. Langkah itu supaya tidak terjadi pembuangan bangkai ke sungai yang memancing buaya mendekat.
"Tak kalah pentingnya adalah langkah mitigasi pengelolaan populasi dengan pendataan dan monitoring populasi dengan survei berkala jumlah buaya," ujar Saiful Umar.
Lalu relokasi buaya yang sudah terbiasa mendekat permukiman.
Pengaturan habitat dengan menjaga keseimbangan rantai makanan, misalnya melarang perburuan biawak dan predator alami lainnya.
Sedangkan mitigasi jangka panjang antara lain program ekowisata buaya dengan mengubah potensi buaya menjadi aset wisata edukasi, sehingga masyarakat mendapat manfaat ekonomi sambil menjaga jarak aman.
Menerapkan zona larangan aktivitas di beberapa muara atau segmen sungai yang dijadikan konservasi buaya tanpa akses manusia.
Baca juga: Lokasi Penangkaran Buaya di Aceh Singkil Bisa Jadi Atraksi dan Solusi
Pembuatan regulasi daerah khusus yang mengatur tata cara hidup berdampingan dengan satwa liar.
Terakhir Saiful Umar, mengemukakan solusi yang dapat dilakukan, yaitu menjaga rantai makanan dan ekosistem.
Tujuannya mengembalikan keseimbangan ekologi sehingga buaya tetap berada di habitat alaminya dan tidak terdorong mendekat manusia.
Menjaga ketersediaan mangsa alami dengan pembatasan penangkapan ikan berlebihan (overfishing) di wilayah sungai, rawa dan laut yang jadi habitat buaya.
Lestarikan populasi satwa mangsa (ikan, burung air, reptil kecil) dengan pengaturan alat tangkap dan musim tangkap.
Perlindungan habitat dengan melindungi rawa, hutan mangrove, dan tepian sungai dari alih fungsi lahan.
Baca juga: Singkil Lama, Jejak Jalur Rempah Dunia yang Kini Jadi Habitat Buaya
Rehabilitasi habitat rusak dengan penanaman kembali mangrove atau vegetasi tepi sungai.
"Bila populasi buaya terlalu tinggi atau sering muncul di pemukiman, dilakukan pengendalian aktif," tukasnya.
Salah satunya dengan pembuatan pusat penangkaran (rescue center) di lokasi aman jauh dari permukiman.
Bisa juga dengan melakukan penangkaran semi alami.
Model ini dilakukan dengan penangkaran buaya di area luas menyerupai habitat asli, digunakan untuk wisata edukasi, penelitian, dan menjaga stok genetik. (*)