Salam
Keadilan untuk Penjual Bakso
“Tim kami masih bekerja di lapangan. Motif dan identitas pelaku masih dalam tahap penyelidikan,” kata Kapolres Lhokseumawe, AKBP Dr Ahzan
SEORANG penjual bakso bernama M Nasir (50), warga yang tinggal di sebuah toko bakso di Jalan Lintas Simpang Kandang-Simpang Keuramat, tepatnya dekat Jembatan Gampong Alue Lim, Kecamatan Blang, Lhokseumawe, meninggal dunia setelah ditembak orang tak dikenal pada Minggu (9/11/2025) malam sekitar pukul 23.30 WIB.
Hingga kini, motif dan pelaku penembakan masih dalam penyelidikan. “Tim kami masih bekerja di lapangan. Motif dan identitas pelaku masih dalam tahap penyelidikan,” kata Kapolres Lhokseumawe, AKBP Dr Ahzan, melalui Kasi Humas Salman Alfarasi sebagaimana diberitakan Serambi, Selasa (11/11/2025).
Menurut informasi, saat itu M. Nasir sedang duduk bersama rekannya di dekat Jembatan Alue Lim ketika sebuah minibus melintas cepat, berputar arah, lalu berhenti tak jauh dari lokasi dan memintanya mendekat. Tak lama kemudian terdengar dua kali suara tembakan yang menewaskannya di tempat, sementara pelaku melarikan diri.
Kita patut bertanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi di sekitar kita? Ketika seorang pedagang sederhana bisa dibunuh di depan rumahnya. Bukan hanya nyawa yang melayang, melainkan juga rasa aman seluruh warga.
Aceh memang sudah lama keluar dari masa konflik. Namun insiden semacam ini mengingatkan kita bahwa bayang-bayang kekerasan masih berkeliaran dalam bentuk lain. Para pelaku dengan berani membawa senjata api dan menembak manusia di tengah pemukiman, menunjukkan betapa lemahnya kontrol terhadap senjata ilegal dan betapa longgarnya jaring pengawasan keamanan lokal.
Apakah ini kasus pribadi? Apakah sekadar sengketa kecil yang berakhir dengan kekerasan brutal? Atau ada sesuatu yang lebih besar misalnya jaringan kriminal, dendam lama, atau praktik premanisme? Semua kemungkinan itu terbuka dan hanya penyelidikan tuntas yang dapat menjawabnya.
Namun apapun motifnya, tak ada satu alasan pun yang bisa membenarkan peluru menyalak di hadapan rakyat kecil. Kehidupan manusia, sekecil apa pun kedudukannya, tetaplah suci. Dan bila keadilan tidak segera ditegakkan, maka peluru berikutnya bisa menyalak di mana saja.
Negara, melalui aparat kepolisian, harus hadir tanpa menunggu gaduh. Kasus ini tidak boleh berakhir menjadi berita singkat di surat kabar. Publik berhak tahu perkembangan penyelidikan, siapa pelakunya, dan mengapa ia menembak. Transparansi adalah bagian dari keadilan itu sendiri.
Sementara masyarakat juga perlu membangun kembali kewaspadaan sosial. Keamanan bukan hanya urusan polisi, tetapi juga urusan kita semua. Dalam konteks Aceh yang menjunjung nilai ukhuwah dan adat, solidaritas warga harus menjadi benteng pertama melawan kekerasan.
Dalam pandangan agama, membunuh satu jiwa sama artinya dengan membunuh seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah: 32). Maka, diam terhadap kekerasan adalah bentuk pembiaran terhadap hilangnya kemanusiaan itu sendiri.
Kita tidak bermaksud menebar ketakutan, melainkan mengingatkan bahwa kekerasan tak boleh menjadi bahasa di Aceh. Peluru tidak bisa menggantikan dialog. Dendam tidak bisa menggantikan hukum. Kita butuh keberanian, bukan hanya dari polisi, tapi juga dari setiap warga untuk berkata bahwa nyawa rakyat kecil pun layak dilindungi.(*)
POJOK
Sekda ajak beli produk lokal
Yang beli cuma rakyat, pejabat sibuk belanja luar negeri, hehehe
Kepala daerah didesak kebut belanja anggaran
Semoga bukan buat kebut-kebutan bagi-bagi proyek
Pemerintah perbaiki perpres tata kelola elpiji 3 kg
Bagus, asal jangan gasnya makin langka
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/aceh/foto/bank/originals/Cerita-Adik-Kandung-Penembakan-Penjual-Bakso-Korban-Ramah-dan-Baik-Sama-Tetangga.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.