Opini
Likê Geleng di Samadua
Di Aceh, peringatan maulid Nabi Besar Muhammad SAW dapat berlangsung selama tiga bulan, yaitu pada buleun
Salah satu suku bangsa yang memiliki tradisi unik dan khas dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW adalah suku Aneuk Jame. Suku bangsa ini pada umumnya mendiami wilayah pesisir barat-selatan Provinsi Aceh. Di Aceh Selatan, wilayah kecamatan yang cukup dominan dihuni oleh suku Aneuk Jame adalah Tapak Tuan, Labuhan Haji Timur, Labuhan Haji Tengah, Labuhan Haji Barat, dan Samadua. Dari beberapa kecamatan tersebut, persentase domisili aneuk jame yang paling tinggi berada dalam Kecamatan Samadua. Di kecamatan ini, salah satu cara memperingati maulid Nabi dilakukan dengan menggelar likê geleng.
Pelaksanaan Likê Geleng
Likê geleng merupakan salah satu ciri khas yang seringkali ditampilkan pada perayaan maulid di kalangan etnik Aneuk Jame. Lazimnya, likê geleng dilakukan secara batunang (bertunang/berbalasan) antara kelompok dari tuan rumah dan kelompok tamu. Namun tak jarang pula likê geleng hanya dilakoni oleh kelompok dari desa yang diundang atau oleh para pemuda dari desa yang menyelenggarakan maulid. Semua itu didasarkan pada keputusan musyawarah desa antara geuchik dan warganya jauh-jauh hari sebelumnya. Biasanya, durasi antara waktu musyawarah dengan penyelenggaraan maulid mencapai satu bulan atau lebih, agar para pemuda memiliki waktu yang cukup untuk berlatih. Selanjutnya, malam-malam setelah musyawarah itu dilewati oleh para pemuda untuk berlatih likê geleng di masjid.
Dalam masa-masa latihan ini, solidaritas sosial dan sifat kegotong-royongan masyarakat terlihat mengemuka. Tanpa menunggu instruksi dari geuchik, secara sukarela masyarakat menyumbangkan minuman dan kue atau penganan lainnya untuk para pemuda yang sedang berlatih likê geleng. Untuk mengatur aliran makanan dan minuman agar stabil, dalam arti tidak berlebihan pada suatu malam dan kekurangan pada malam yang lain, maka masyarakat penyumbang diminta mendaftarkan namanya kepada geuchik atau kepala dusun masing-masing.
Dalam masa-masa ini pula, tak jarang para pemuda beranjangsana ke desa yang diundang untuk “mengintip” syair likê dan gaya geleng yang dipraktikkan oleh para pemuda yang berlatih di sana. Hal ini dilakukan agar mereka dapat mencarikan syair likê dan geleng balasan yang seimbang dengan kelompok tamu nantinya, sehingga mereka dapat batunang dengan hebat dan tidak dapat dikalahkan oleh kelompok tamu.
Dalam prosesi latihan ini, ditetapkan seorang syekh sebagai pimpinan. Syekh berperan menentukan gaya geleng ketika sebuah syair likê dilantunkan. Gelengan kepala dan gerakan tubuh syekh kemudian diikuti oleh jamaah secara serempak. Dalam kasus penampilan secara tunggal, artinya bukan likê geleng batunang, gelengan kepala dan gerakan tubuh syekh dapat dengan mudah diikuti, karena telah berlatih sebelumnya. Akan tetapi, peran dan kreativitas syekh akan teruji bilamana likê geleng dilangsungkan secara batunang. Syekh dituntut untuk mencari geleng yang berbeda dengan geleng yang telah ditunjukkan oleh kelompok tamu pada sesi pertama.
Likê geleng diselenggarakan pada malam hari, biasanya dimulai pukul 21.00 WIB. Jika likê geleng dilakukan secara batunang, maka terlebih dahulu disepakati lamanya waktu untuk tampil. Biasanya likê geleng berakhir pada pukul 01.00 dini hari atau tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak. Pagelaran dimulai ketika kedua kelompok naik ke atas pentas/panggung. Kelompok tamu dan kelompok tuan rumah duduk berbanjar dan saling berhadapan. Mereka duduk berimpitan, sehingga bahu antara yang satu dengan yang lain dalam satu banjar saling beradu. Satu banjar terdiri atas 12 orang. Biasanya, satu kelompok terdiri atas 3 (tiga) banjar, namun bisa juga lebih dari itu. Jumlah anggota antara kedua kelompok tidak harus sama. Lazimnya, tuan rumah memiliki anggota kelompok likê yang lebih besar dibandingkan kelompok tamu.
Banjar/barisan pertama terdiri atas para pemuda berusia 20-an tahun, banjar kedua lebih senior daripada itu, dan banjar terakhir diisi oleh orang-orang berusia 40-50 tahun. Perbedaan usia orang yang menempati banjar dikarenakan antara banjar yang satu dengan banjar yang lain dalam satu kelompok memiliki gelengan kepala dan gerakan tubuh yang berbeda untuk satu likê dan dalam waktu bersamaan. Banjar pertama memiliki gerakan yang lebih cepat dan dinamis daripada banjar kedua. Banjar terakhir mempunyai gerakan yang relatif sama untuk semua syair likê yang dibawakan. Tugas utama kelompok tua adalah menjaga jangan sampai ada suara yang terputus dalam menyahut syair-syair likê. Dengan demikian, gerakan-gerakan dalam likê geleng terlihat sangat dinamis dan dimainkan dalam ritme yang cepat, namun tetap terlihat padu. Jika dibandingkan mirip dengan kecepatan dan kepaduan dalam gerakan tari saman, namun oleh karena likê geleng dimainkan oleh dua kelompok, maka gerakannya terlihat lebih dinamis dan variatif daripada tari saman.
Di samping itu, kedua kelompok mengenakan pakaian seragam masing-masing. Kelompok tamu diberi kesempatan untuk membawakan nur al-huda yang dinukil dari kitab Dalail Khairat. Selanjutnya giliran tuan rumah. Setelah nur al-huda selesai, dilanjutkan dengan mensyairkan qasidat al-burdah, yang juga dirujuk dari kitab Dalail Khairat. Barulah kemudian masuk ke sesi likê geleng. Kelompok tamu tetap saja mendapat kehormatan yang pertama membawakan syair-syair likê, kemudian dibalas oleh kelompok tuan rumah. Selanjutnya giliran tamu, lalu tuan rumah. Demikian seterusnya.
Ketika kelompok tamu membawakan likê, kelompok tuan rumah tidak berdiam saja. Mereka juga harus mampu mengikuti syair likê yang dibawakan kelompok tamu, namun dalam gerakan tubuh dan gelengan kepala yang berbeda. Demikian pula jika kelompok tamu menampilkan geleng yang cepat dan bersemangat, maka ketika gilirannya tiba, syekh dari kelompok tuan rumah harus dapat menunjukkan gerakan lain yang ritmenya tidak kalah cepat dari kelompok tamu. Selain itu, pada saat giliran tamu memimpin sesi, mereka membawakan likê dan gelengan kepala serta gerakan tubuh secara lambat sebanyak tiga kali, kemudian semakin cepat tanpa peduli lagi apakah kelompok tuan rumah dapat mengikutinya atau tidak. Jika kelompok tuan rumah tidak dapat mengikutinya, maka pada sesi itu tuan rumah dianggap kalah. Demikian pula ketika giliran tuan rumah yang memimpin sesi. Di sini, peran syekh sangat menentukan, hampir serupa dengan peran syekh pada tari seudati.
Di sinilah daya tarik lain likê geleng bagi para penonton. Jika kedua kelompok dapat tampil secara seimbang, baik dari keindahan syair likênya maupun dari segi ritme dan kekompakan gelengnya, maka penonton amat merasa terhibur dan dapat bertahan sampai larut malam. Akan tetapi, jika salah satu kelompok “kalah” dalam batunang, mereka akan merasa malu kepada masyarakatnya. Untuk menutupi rasa malu tersebut, mereka akan berlatih keras dengan harapan dapat melakukan balasan pada waktu pertemuan berikutnya, yaitu pada saat perayaan maulid di desa kelompok tamu.
Menjelang pagelaran berakhir, sebelum turun pentas, kedua kelompok menutup pagelaran dengan berdoa secara bersama dan dipandu oleh salah seorang di antara mereka yang dianggap patut. Ada hal lain yang cukup menarik dalam pentas likê geleng, yaitu syair-syair yang dilantunkan berbahasa Aceh, sehingga kebanyakan pendengar bahkan pembawa syair itu sendiri tidak mengetahui arti syair tersebut. Paling-paling mereka hanya mampu memahami maksud syair tersebut secara umum. Namun, dikarenakan syair-syair itu dibawakan secara berirama dan diiringi dengan gelengan kepala dan gerakan tubuh secara serentak dan padu, maka masyarakat tetap antusias menyaksikannya.
Setelah likê geleng berakhir, para peserta baik dari kelompok tamu maupun dari kelompok tuan rumah disuguhi minuman dan aneka kue. Selanjutnya, sebelum rombongan tamu berpamitan, geuchik menyerahkan jamba kepada pimpinan rombongan untuk dibawa pulang. Jumlah jamba yang diserahkan sama dengan jumlah peserta likê geleng dari kelompok tamu. Jamba-jamba itu akan dibagikan oleh geuchik dari rombongan tamu kepada segenap masyarakatnya pada keesokan hari. Setelah semua isi jamba dibagikan, jamba yang kosong disimpan untuk kemudian dikembalikan ketika desa pengundang tadi menjadi tamu pada peringatan maulid nabi di desa mereka. Tentu saja yang dikembalikan bukan jamba kosong, melainkan telah diisi dengan aneka penganan sebagaimana yang telah diberikan kepada mereka.
* Bustami Abubakar, dosen Antropologi Budaya, Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry. E-mail: bustamiabubakar@gmail.com