Ketua STIS Al-Aziziyah Sabang Dorong Fikih Ekologi sebagai Solusi Krisis Lingkungan di Aceh

Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Tgk Muslem Hamdani mendorong penguatan pendidikan ekologi Islami di dayah, sekolah, dan masjid. 

Penulis: Indra Wijaya | Editor: Zaenal
SERAMBINEWS.COM/HANDOVER
SEKOLAH LINGKUNGAN ACEH - Ketua STIS Al-Aziziyah Sabang, Tgk Muslem Hamdani (membelakangi kamera), menjadi pemateri dalam forum Sekolah Lingkungan Aceh (SLA) VII yang digelar oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, di Aula Walhi Aceh, di Banda Aceh, Jumat (12/9/2025). Tgk Muslem memaparkan prinsip-prinsip fikih ekologi seperti menjaga lingkungan (ḥifẓ al-bi’ah), menegakkan keadilan ekologis, serta larangan merusak (lā ḍarar wa lā ḍirār) lingkungan hidup. 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Krisis lingkungan yang semakin mengancam kehidupan global menjadi sorotan utama dalam forum Sekolah Lingkungan Aceh (SLA) VII yang digelar oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh. 

Dalam forum yang berlangsung di Aula Walhi Aceh, di Banda Aceh, Jumat (12/9/2025), Dr. Tgk. Muslem Hamdani, MA, Ketua STIS Al-Aziziyah Sabang, menegaskan pentingnya pendekatan fikih ekologi dalam merespons kerusakan alam, dengan menggabungkan nilai-nilai syariat Islam dan kearifan lokal masyarakat Aceh.

“Manusia adalah khalifah di bumi, tugasnya memakmurkan, bukan merusak,” ujar Dr. Muslem, merujuk pada QS. Al-Baqarah: 30 dan hadis Nabi yang menekankan kesucian darah, harta, kehormatan, dan tanah. 

Ia memaparkan prinsip-prinsip fikih ekologi seperti menjaga lingkungan (ḥifẓ al-bi’ah), menegakkan keadilan ekologis, serta larangan merusak (lā ḍarar wa lā ḍirār).

Etika lingkungan dalam Islam, menurutnya, tercermin dalam praktik sederhana namun bermakna: hemat air saat berwudhu, menjaga kebersihan, menanam pohon, dan mengelola sumber daya secara berkelanjutan. 

Nilai-nilai ini berpadu dengan tradisi lokal Aceh seperti hukum adat laot yang melarang penggunaan bom dan racun, hukum adat uteun yang melindungi hutan larangan, serta tradisi meuseuraya dan kenduri sebagai bentuk syukur dan pesan moral menjaga alam.

“Islam memberi norma, adat memberi praktik. Sinergi keduanya melahirkan peradaban ekologis yang berkelanjutan,” jelas Dr. Muslem yang juga merupakan alumni Dayah Mudi Mesra.

Baca juga: Dari Kilometer Nol, STIS Al-Aziziyah Sabang Cetak Generasi Penulis Visioner

Untuk mewujudkan gagasan tersebut, ia mendorong penguatan pendidikan ekologi Islami di dayah, sekolah, dan masjid. 

Ia juga menekankan pentingnya revitalisasi hukum adat dengan memperkuat peran panglima laot dan keuchik, serta dukungan regulasi melalui qanun syariat dan adat. 

Kolaborasi lintas elemen--ulama, pemerintah, tokoh adat, akademisi, dan masyarakat--dianggap sebagai kunci menjaga kelestarian lingkungan di Aceh.

Sebagai penutup, Dr. Muslem menegaskan bahwa menjaga alam bukan sekadar tanggung jawab sosial, melainkan bentuk ibadah. 

Dengan mengintegrasikan syariat Islam dan kearifan lokal, Aceh diharapkan mampu melahirkan peradaban ekologis yang adil, lestari, dan berkelanjutan.

Baca juga: Remaja Putri Aceh Besar Belajar Kesehatan Reproduksi dan Membuat Pembalut Ramah Lingkungan

Sekilas tentang Fikih Ekologi 

Fikih ekologi--atau fiqh al-bi’ah--adalah cabang pemikiran Islam kontemporer yang mengkaji hubungan antara manusia dan lingkungan hidup melalui perspektif hukum Islam.

Ia lahir dari kesadaran bahwa krisis lingkungan bukan hanya masalah ilmiah atau kebijakan, tetapi juga persoalan moral dan spiritual yang menyentuh inti ajaran Islam.

Salah satu tokoh yang banyak membahas fikih ekologi adalah Dr. Agus Hermanto, M.H.I, yang menulis buku Fikih Ekologi sebagai respons terhadap krisis lingkungan global.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved