Opini
Model Otonomi Khusus Aceh yang Berkeadilan dan Berkelanjutan
Dari sini pula modal finansial awal bangsa ini dikumpulkan; dari sumbangan rakyat Aceh
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
SEJARAH mencatat dengan tinta emas bahwa Aceh adalah modal awal berdirinya Republik Indonesia.
Dari sinilah pengakuan dunia atas kedaulatan Indonesia mengalir, melalui siaran Radio Rimba Raya yang membatalkan klaim Belanda bahwa Indonesia telah tumbang.
Dari sini pula modal finansial awal bangsa ini dikumpulkan; dari sumbangan rakyat Aceh untuk membeli pesawat pertama hingga kontribusi masif gas alam Arun dan emas Teuku Markam untuk Tugu Monas.
Aceh bukan sekadar provinsi, ia adalah pemodal, peletak dasar kedaulatan, dan benteng terakhir martabat bangsa.
Namun, ironi yang pahit harus kita telan. Sang pemodal justru terbelit dalam pusaran kemiskinan dan ketertinggalan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh pada Maret 2023 menunjukkan angka kemiskinan mencapai 15,53 persen, jauh di atas rata-rata nasional yang sebesar 9,36 % .
• Tiram, Mutiara Ekonomi Biru Aceh
Angka pengangguran terbuka (TPT) Aceh juga tertinggi se-Sumatera, yakni 6,96 % , sementara rata-rata nasional 5,45 % (BPS, Agustus 2023).
Ini adalah paradoks yang memilukan: daerah yang begitu kaya secara historis, kultural, dan sumber daya alamnya justru menjadi yang termiskin.
Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 sejatinya adalah sebuah janji reforma agraria sosial, ekonomi, dan politik. Dana Otsus merupakan instrumen utama untuk menebus ketimpangan struktural dan ‘dosa sejarah’ ketidakadilan yang dialami Aceh.
Pada puncaknya di tahun 2022, Aceh menerima dana Otsus sebesar Rp 5,76 triliun. Namun, jalan menuju kemandirian justru terancam buntu karena skema pendanaan ini akan berakhir pada 2027.
Pengurangan dana yang signifikan setiap tahunnya menjadi Rp 4,8 triliun (2023), Rp 3,84 triliun (2024), dan seterusnya memicu kekhawatiran akan terhentinya berbagai program pembangunan.
Ancaman ini memaksa kita untuk berefleksi: sudahkah dana Otsus dimanfaatkan untuk membangun model pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan dan sejalan dengan Syariat Islam?
Faktanya, pemanfaatan dana Otsus selama ini masih menghadapi beberapa tantangan mendasar. Pertama, ketergantungan yang tinggi pada dana pusat.
Dana Otsus dan Dana Insentif Daerah (DID) masih menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh, sementara kontribusi PAD sendiri masih sangat rendah, yakni di bawah 10?ri total pendapatan. Ini menunjukkan lemahnya kapasitas fiskal dan ekonomi lokal.
Kedua, alokasi yang belum optimal untuk sektor-sektor produktif dan berkelanjutan. Laporan Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) menyoroti bahwa sebagian besar dana Otsus masih terserap untuk belanja tidak langsung, seperti gaji dan tunjangan, dibandingkan untuk investasi dalam infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan yang berkelanjutan.
Ketiga, tata kelola dan transparansi yang masih perlu ditingkatkan untuk mencegah kebocoran dan inefisiensi.
Lantas, seperti apa model pemanfaatan dana Otsus yang berkeadilan, berkelanjutan, dan selaras dengan Syariat Islam?
Pertama, model tersebut harus berbasis pada Kemandirian Ekonomi (Iqtishad). Syariat Islam mengajarkan prinsip kemandirian (al-ghina) dan melarang ketergantungan (al-iqtina').
Dana Otsus harus dialihkan dari sekadar konsumsi menjadi modal untuk membangun kemandirian fiskal. Ini dapat dilakukan dengan mengalokasikan porsi signifikan dari dana Otsus untuk membangun infrastruktur produktif dan mendanai industri halal strategis yang menjadi unggulan Aceh, seperti pertanian organik, perikanan tangkap, pariwisata halal, dan industri pengolahan hasil laut.
Hasilnya harus dapat langsung dinikmati oleh masyarakat banyak, sesuai dengan prinsip maslahah.
Kemudian Mendorong investasi syariah dan pembiayaan melalui Lembaga Keuangan Syariah (LKS) untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pemerintah Daerah dapat menjadi penjamin dan fasilitator untuk menghubungkan UMKM dengan sumber pembiayaan syariah.
Kedua, model tersebut harus mengedepankan Keadilan Sosial (Al-'Adalah). Keadilan adalah inti dari Syariat Islam. Dana Otsus harus dijauhkan dari praktik korupsi dan dinikmati secara merata. Yaitu memperkuat transparansi dan akuntabilitas dengan memanfaatkan teknologi digital.
Platform e-budgeting dan e-procurement yang terbuka untuk diawasi publik harus diwajibkan untuk setiap proyek yang menggunakan dana Otsus.
Kemudian memprioritaskan program pengentasan kemiskinan yang menyentuh akar masalah, seperti pelatihan vokasi berbasis Syariat Islam, bantuan modal produktif, dan jaring pengaman sosial bagi fakir miskin dan anak yatim, yang merupakan kelompok prioritas dalam Islam (QS. Al-Baqarah: 177).
Ketiga, model tersebut harus Berkelanjutan (Al-Istiqlaliyah). Pembangunan tidak boleh hanya untuk memuaskan kebutuhan hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. Caranya dengan menginvestasikan dana Otsus dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) melalui beasiswa pendidikan berkualitas dan program kesehatan yang komprehensif. SDM yang unggul adalah aset berkelanjutan terbaik.
Di samping itu juga perlu mendorong ekonomi hijau (green economy) yang ramah lingkungan. Aceh dengan hutan dan lautnya yang luas dapat memimpin dalam mengembangkan ekonomi sirkular dan ekowisata yang sejalan dengan prinsip Islam sebagai khalifah di muka bumi.
Menuju 2027, Pemerintah Pusat dan Daerah harus duduk bersama merancang skenario pascaberakhirnya dana Otsus. Bukan dengan memutuskan begitu saja, tetapi dengan mengevaluasi capaian dan merancang skema pendanaan alternatif yang mungkin, seperti bagi hasil migas dan SDA lainnya yang lebih adil, atau memperpanjang Otsus dengan fokus dan tata kelola yang baru yang lebih berorientasi pada kemandirian.
Aceh telah membuktikan pengabdiannya yang tulus untuk Indonesia. Kini, adalah tugas negara untuk memastikan bahwa otonomi khusus bukan sekadar janji politis yang habis dalam hitungan tahun, melainkan sebuah komitmen untuk membangun Aceh yang berdaulat secara ekonomi, berkeadilan sosial, dan berkelanjutan sebuah model pembangunan yang tidak hanya memakmurkan bumi Aceh, tetapi juga menjadi cahaya terang yang menuntun pelaksanaan Syariat Islam dalam bingkai keindonesiaan yang lebih luas. Jangan biarkan sang pemodal kembali tertinggal.
Jangan biarkan Aceh terus dalam pusaran kemiskinan, yang akan menambah catatan seolah-olah Jakarta selalu konsisten dalam ketidak jujuran untuk membangun Aceh dari keterpurukan, sehingga perlawanan dari anak bangsa atas ketidak jujuran menjadikan bangsa ini selalu dalam keterpurukan serta jauh dari keberkahan.
Mari kita gandeng tangan untuk sama-sama membangun untuk kesejahteraan anak bangsa yang berada di pintu gerbang jalur perdagangan dunia.
Kebangkita Aceh, merupakan parameter utama terhadap Pembangunan Indonesia, serta buktinyata dari kesejahteraan Indonesia yang lebih baik lagi kedepan.
Semoga Aceh yang telah diakui sebagai laboratorim perdamaian terbaik dunia, juga dapat dijadikan sebagai model pembangunan dana otonomi khusus yang dapat menyejahterakan masyarakat serta berkelanjutan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.